Thursday, December 11, 2008

Tiga Jenis LSM

Meriahnya kehadiran Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di tengah- tengah kehidupan masyarakat, di satu sisi diakui sangat memberi dampak positif karena banyak membantu rakyat kecil dalam memperjuangkan hak-haknya. Namun di sisi lain, kehadiran LSM tak jarang jadi bahan olokan. Ini karena di antara LSM ada yang tidak jelas orientasi, visi dan misinya (kalaupun ada cuma diatas kertas dan bersipat normatif), bahkan cenderung didirikan hanya untuk memenuhi tujuan-tujuan tertentu. Kenyataan adanya LSM yang berdiri hanya untuk mencari keuntungan sesaat, cukup menonjol. Oleh karenanya tidak aneh kalau LSM dibedakan dalam beberapa katagori.

Katagori pertama disebut dengan LSM Merpati.
Untuk spesies ini diidentifikasikan sebagai LSM yang dengan cepat terbentuk apabila mendengar ada proyek-proyek "basah" turun dari pemerintah atau dari parpol atau dari swasta untuk mengelabui rakyat, misalnya proyek Reboisasi, Jaring Pengaman Sosial (JPS) atau Kredit Usaha Tani (KUT), Bina Desa Hutan dan juga dukung-mendukung calon pejabat. Begitu tahu ada proyek-proyek semacam ini atau ada moment pemilihan pejabat, maka dengan secepat kilat sejumlah orang yang tidak jelas komitmen dan asal usul aktivitas dan keberadaannya di dunia per-LSM-an berkumpul dan langsung membentuk wadah LSM.

Tak lama kemudian mereka sudah muncul dengan setumpuk proposal menemui pimpinan-pimpinan instansi pemerintah, perusahaan dan pimpinan partai atau calon pejabat yang ikut kontes, untuk meminta proyek. Para "aktivis" LSM semacam ini, biasanya terdiri dari kerabat dekat para pejabat atau mantan "aktivis" organisasi tempoe doeloe jaman Orba yang sudah buruk sepak terjangnya atau merupakan kaki tangan partai-partai penguasa tempoe doeloe yang rata-rata adalah aportunis sejati. Mereka ini mempunyai jaringan informasi cukup kuat tentang kapan turunnya alokasi proyek-proyek dan lainnya dari pusat sampai daerah bahkan ke kampung-kampung.

LSM Merpati akan segera bubar kalau proyek sudah habis. Ciri lainnya, biasanya dalam penulisan nama lembaga, didepannya memuat tulisan "LSM", misalnya LSM A atau LSM B, hal ini dilakukan akibat ketidak PD-annya sendiri, struktur kelembagaan cenderung mengikuti OKP atau Partai yang sangat hirarkis dan juga mempunyai cabang-cabang, bahkan lucunya ada yang menyebut dirinya LSM tingkat pusat, LSM tingkat 1 dan tingkatan lainnya. "Aktivisnya" hanya "menyambi" saja dan bukan bekerja penuh untuk LSM tersebut, ada yang pengusaha, kontraktor, mantan pegawai negeri atau pegawai negeri atau keluarganya. Yang lainnya adalah dalam manajemen keuangan mempergunakan manajemen warung, dimana otorita keuangan dipegang oleh satu orang saja dan dana saldo kegiatan biasanya dibagi-bagi atau di embat oleh mereka, tidak untuk di saving sebagai pendukung kegiatan lain yang tidak didanai oleh donor tetapi menjadi kebutuhan lembaga dan masyarakat.

Katagori kedua dijuluki LSM Pedati atau ada juga yang menyebutnya "LSM Taxi" atau "LSM plat kuning"
yaitu LSM yang suka dan hanya mengharapkan untuk mengerjakan proyek pemerintah atau pesanan dari yang membutuhkan. LSM jenis ini adalah kelompok LSM yang hanya ada karena didorong-dorong pemerintah. Misalnya, di suatu instansi akan mengerjakan proyek tertentu tapi diwajibkan memiliki konsultan bergelar LSM. Maka instansi tersebut akan cepat-cepat meminta orang yang dikenalnya agar segera membentuk LSM sehingga ketentuan proyek bisa terpenuhi dan semuanya bisa menjadi aman.

Praktik semacam ini biasanya terjadi pada proyek-proyek utang luar negeri dari World Bank atau Asian Development Bank (ADB) atau CGI atau IMF. LSM dengan katagori ini sifatnya lebih permanen, kantornya bagus dan "aktivisnya" biasa para dosen atau tenaga-tenaga teknik, namun hanya mengejar keuntungan.

LSM jenis ini bisa dikatakan saudara kandung dengan katagori pertama. Penulisan nama lembaga, dan struktur cenderung sama dengan LSM Merpati tetapi lebih adaftif sedikit karena terdiri dari orang-orang yang punya otak. Manajemen agak lebih baik, karena memang orientasinya adalah duit. Sipat partisan terhadap kepentingan tertentu agak terbatas, tetapi juga tidak cukup independen terutama kepada juragan yang memberikan sesajen pada mereka.

Sedangkan katagori ketiga dijuluki dengan LSM Sejati.
LSM jenis ini dianggap LSM yang benar-benar bekerja, tumbuh dari bawah karena aktivisnya merasa terpanggil memperbaiki berbagai ketimpangan dalam masyarakat. LSM jenis ini dengan tegas menolak utang luar negeri untuk kegiatannya dan hanya menerima dana hibah dari badan-badan pemerintah / dunia, lembaga donor luar dan dalam negeri, swadaya sendiri atau dana sumbangan publik [baik dalam maupun luar negeri].

LSM Sejati lebih senang memposisikan dan menyebut dirinya sebagai organisasi non-pemerintah (ORNOP) atau NGO yang punya komitmen besar memperjuangkan hak-hak rakyat kecil dan kaum tertindas, lingkungan hidup, demokratisasi dan HAM. LSM jenis ini tidak partisan dan sangat anti dengan budaya dukung-mendukung calon pejabat atau partai tertentu. Juga tidak ada jalur hirarkis dan sub-ordinasi antara jaringan internasional, nasional dan lokal. Sipatnya adalah win-win partnership, kemitraan yang sejajar.

Gaya bahasa dan penyebutan istilah-istilah agak berbeda dengan kebanyakan aktivis LSM spesies lainnya diatas (misalnya sangat anti dengan kata-kata PEMBINAAN MASYARAKAT karena mengandung konotasi sok lebih terbina dari masyarakat). Otorita keuangan dipegang oleh banyak pihak, tidak dipegang oleh satu orang. Aktivisnya sangat alergi mengurus keuangan, cenderung lebih suka dilapangan.

Sumber: Aceh Forum
Sumber Asli: Tidak diketahui
Penulis: Tidak Diketahui

[+/-] Read More...

Friday, December 5, 2008

Minat Investasi dan Peran LSM

DALAM sejarah de­mo­kratisasi bangsa ini, besarnya pe­ran­an Lembaga Swa­daya Masyarakat (LSM) sangat luar bia­sa. Di era rezim Or­de Baru, kalangan LSM malahan men­ja­di tumpuan harapan bagi mereka yang teraniaya ke­kuasaan negara.

Sayangnya, sejak tahun 1990-an dikenal “ka­ta­gorisasi” LSM. Misalnya ada istilah LSM pelat merah, plat hitam, dan plat kuning. Istilah LSM plat merah se­ring ditujukan kepada LSM yang membela kepentingan pe­jabat-pejabat pemerintah atau kebijakan pe­merintah. Tak sedikit LSM plat merah yang sengaja di­bentuk agar mendapatkan proyek tertentu atau me­muluskan proyek sang pejabat.

Sedangkan LSM plat hitam sering diasosiasikan dengan mereka yang masih berpegang teguh pada idea­lisme. LSM jenis ini murni didirikan atas inisiatif ma­­syarakat, dikelola oleh masyarakat sendiri, dan sa­ngat minim ketergantungannya dari unsur pemerintah.

Sementara LSM plat kuning adalah jenis yang paling oportunis. LSM ini bisa saja dibentuk dadakan se­tiap saat tergantung isu yang akan diusung. Jelas sekali LSM spesies ini bebas ditumpangi siapa saja dengan agenda apapun.

Menariknya akhir-akhir ini di tengah pemeriksaan ter­hadap kasus dugaan praktek monopoli Temasek mu­lai nampak–kebangkitan lagi LSM-LSM “plat ku­ning” tersebut. Dari pemberitaaan di media tergambar ada beberapa LSM yang tiba-tiba sering muncul.

Lebih anehnya lagi, jika diperhatikan alamat LSM ini berada di kawasan yang sama. Namun meski ala­mat­nya berlainan, lucunya nomor fax yang digunakan se­lalu sama. Aneh tapi nyata memang. Agenda yang di­bawa juga nyaris seragam. Jika tidak berisi desakan ke­pada KPPU membatalkan pemeriksaan ter­hadap Temasek. Tanpa hendak berprasangka buruk, namun gerakan LSM “plat kuning” yang sistematis tersebut sangat ber­po­tensi mengganggu masuknya investor asing baru ke’Indonesia. Mereka sepertinya tak rela ada investor baru.

Agenda investor asing ini sudah jelas yaitu jangan sam­­pai pundi-pundi uangnya terusik. Padahal, ke­ber­ada­an dan minat investor asing harus selalu dijaga. Te­­ngok saja saat kunjungan kenegaraan beberapa pre­­siden yang sukses menghadirkan beberapa pe­ru­sa­haan ternama. Hal ini sangat positif. Namun jika pre­­seden menjelek-jelekkan calon investor baru se­per­ti yang diutarakan di atas masih saja terjadi maka sa­ngat mungkin para calon investor baru malah urung masuk ke Indonesia.

Mengatasi kendala investasi termasuk apa saja yang dikeluhkan investor menjadi penting mengingat tingkat persaingan yang makin tajam antardaerah dan juga antar negara. Sistem pelayanan satu atap termasuk fa­silitas serta kemudahan lain yang bisa ditawarkan akan menjadi daya tarik. Tetapi semua itu tak bisa berhenti hanya pada konsep dan pemenuhan secara formal.

[+/-] Read More...

LSM, Apaan sih?

Oleh: Dyah Paramita

Sumber: Soloraya.Net

Makin meningkatnya pendidikan dan tingkat pendapatan, terutama ketika terjadi ketidakpuasan di lapisan masyarakat, mulai timbul gejala baru dalam demokrasi, yaitu partisipasi. Dalam sejarah Barat, partisipasi itu timbul dari bawah, di kalangan masyarakat yg gelisah. Gejala itulah yg dilihat oleh Alexis de Tocqueville (1805-1859) seorang pengamat sosial Prancis dalam kunjungannya ke Amerika pada tahun 30-an abad ke 19 yakni timbulnya perkumpulan dan perhimpunan sukarela (voluntary association).

Selain menyelenggarakan kepentingan mereka sendiri, dengan melakukan berbagai kegiatan inovatif, perkumpulan dan perhimpunan itu juga bertindak sebagai pengimbang kekuatan negara (as a counter-weights to state power). Ada 3 macam peranan yg dijalankan oleh perkumpulan dan perhimpunan tersebut yaitu:

Pertama, menyaring dan menyiarkan pendapat dan rumusan kepentingan yang jika tidak dilakukan pasti tidak akan terdengar oleh pemerintah atau kalangan masyarakat umumnya. Kedua, menggairahkan dan menggerakkan upaya-upaya swadaya masyarakat daripada menggantungkan diri pada prakarsa negara. Ketiga, menciptakan forum pendidikan kewarganegaraan, menarik masyarakat untuk membentuk usaha bersama (co-operative ventures) dan dengan demikian mencairkan sikap menyendiri (isolatif) serta membangkitkan tanggung jawab sosial yg lebih luas.

Perkumpulan dan asosiasi itulah yg kemudian menjadi “sokoguru masyarakat" (civil society). Dan apa yg disebut oleh Tocqueville itu tak lain adalah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), yg dalam masyarakat Barat dewasa ini disebut sebagai Non Government Organisation (ORNOP, Organisasi non pemerintah) dan perkumpulan sukarela (voluntary association).

David Korten, seorang aktivis dan pengamat LSM memberikan gambaran perkembangan LSM. Ia membagi LSM menjadi 4 generasi berdasarkan strategi yg dipilihnya. Generasi pertama, mengambil peran sebagai pelaku langsung dalam mengatasi persoalan masyarakat. Pendekatannya adalah derma, dengan usaha untuk memenuhi kebutuhan yang kurang dalam masyarakat. Generasi ini disebut sebagai "relief and welfare" . LSM generasi ini memfokuskan kegiatannya pada kegiatan amal untuk anggota masyarakat yg menyandang masalah sosial.

Generasi kedua, memusatkan perhatiannya pada upaya agar LSM dapat mengembangkan kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Peran LSM di sini bukan sebagai pelaku langsung, tetapi sebagai penggerak saja. Orientasinya pada proyek2 pengembangan masy. Generasi ini disebut sebagai small scale, self reliance local development. Generasi ini melihat masalah sosial dengan lebih kompleks. Tidak sekedar melihat soal yang langsung kelihatan saja tapi juga mencari akar masalah. Fokusnya pada upaya membantu masyarakat memecahkan masalah mereka, misal program-program peningkatan pendapatan, industri kerajinan dan lain-lain. Semboyan yang populer adalah "Berilah Pancing dan Bukan Ikannya!"

Generasi ketiga, keadaan di tingkat lokal dilihat sebagai kiblat saja dari masalah regional atau nasional. Masalah mikro dalam masyarakat tidak dipisahkan dengan masalah politik pembangunan nasional. Karena itu penanggulangan mendasar dilihat hanya bisa dimungkinkan kalau ada perubahan struktural. Kesadaran seperti itulah yg tumbuh pada LSM generasi ini bersamaan dgn otokritiknya atas LSM generasi sebelumnya sebagai "pengrajin sosial". LSM generasi ini disebut sebagai "sustainable system development".

Generasi keempat disebut sebagai "people movement". Generasi ini berusaha agar ada transformasi struktur sosial dalam masyarakat dan di setiap sektor pembangunan yang mempengaruhi kehidupan. Visi dasarnya adalah cita2 terciptanya dunia baru yg lebih baik. Karena itu dibutuhkan keterlibatan penduduk dunia. Ciri gerakan ini dimotori oleh gagasan dan bukan organisasi yang terstruktur.

Perjalanan LSM di Indonesia pada awal kemunculannya melalui perspektif sejarah dan mengacu pada pembagian generasi di atas, ada yang berpendapat bahwa cikal-bakal LSM di Indonesia telah ada sejak pra-kemerdekaan. Lahir dalam bentuk lembaga keagamaan yang sifatnya sosial/amal (dapat dikategorikan generasi pertama).

Tahun 50-an tercatat muncul LSM yg kegiatannya bersifat alternatif terhadap program pemerintah, dua pelopornya misal LSD (Lembaga Sosial Desa) dan Perkumpulan Keluarga Kesejahteraan Sosial.

Tahun 60-an lahir beberapa lembaga yg bergerak terutama dalam pengembangan pedesaan. Pendekatan dengan proyek-proyek mikro menjadi ciri utama masa ini, terutama yang menyangkut aspek sosial ekonomi pedesaan. Pada kurun waktu ini pula lembaga-lembaga ini merintis jaringan kerjasama nasional misal lahir Yayasan Sosisal Tani Membangun yg kemudian berkembang menjadi Bina Desa, Bina Swadaya.

Ciri LSM yg muncul dan berkembang pada th 70-an merupakan fenomena yang unik. Ini dipengaruhi oleh ORBA. LSM merupakan reaksi sebagian anggota masyarakat atas kebijakan pembangunan yang ditempuh saat itu. Dasar penggeraknya adalah motivasi untuk mempromosikan peran serta dan keterlibatan masyarakat dalam pembangunan. Meski juga berorientasi pada proyek mikro, juga mengaitkan persoalan kebijaksanaan pada tingkat makro, Contohnya LSM yang lahir pada generasi ini adalah LBH, YLKI, LP3ES.

Sejak masa itu sampai kini, perkembangan LSM di Indonesia sangat pesat. Visi, misi, pendekatan dan isu beragam. Perkembangan LSM tidak bisa lagi dilihat secara linier dan mengikuti urutan waktu generasi per generasi.

Perjalanan LSM di Indonesia sekitar tahun 1970-an disebut sebagai ORNOP yang merupakan terjemahan dari NGO. Ornop/NGO bisa merupakan satu lembaga bisnis (swasta), organisasi profesi, klub olah raga, kelompok artis, jama'ah aliran agama, lembaga dana, yang penting semua organisasi yang bukan pemerintah. Interaksi antar kelompok ORNOP ini mempengaruhi tatanan sosial politik masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Masing-masing memperjuangkan kepentingannya dan pemerintah hanya berfungsi sebagai wasit (yang adil).

Segala sesuatu dimulai dari masyarakat dalam suasana yang hampir-hampir bebas dari intervensi negara. Istilah ORNOP kemudian dirubah menjadi LSM karena di satu sisi, adanya kesan dan anggapan bahwa istilah ORNOP memiliki konotasi negatif seakan-akan melawan pemerintah (jaman ORBA alergi sekali dengan yg berbau oposisi, atau non-pemerintah). Di lain pihak, dalam kalangan aktivisnya saat itu ada kesadaran bahwa gerakan mereka ini dilandasi oleh suatu misi positif, yakni mengembangkan kemandirian dan membangun kesadaran, tidak semata-mata "bukan pemerintah/non government". Pergeseran ORNOP menjadi LSM sebenarnya menimbulkan perbedaan arti, landasan ORNOP adalah untuk "non governmentalism", sedangkan LSM adalah "auto governmentalism" dengan kata lain yang dibangun oleh LSM bukan "non kepemerintahan" tetapi keswadayaan dan kemandirian. Penggantian istilah ORNOP menjadi LSM sesungguhnya telah memberikan perbedaan makna yang sangat mendasar. Formalisasi kemudian dilakukan pemerintah terhadap LSM melalui UU. No. 4 tahun 1982 ttg pokok-pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (kemudian diatur pula dgn UU No. 8 tahun 1985 tentang keormasan, dan Inmendagri No. 8 tahun 1990). Pada pasal 19 UU No. 4 tahun 1982 disebutkan : "Lembaga Swadaya Masyarakat berperan sebagai penunjang bagi pengelolaan Lingkungan Hidup", sedangkan dalam penjelasannya LSM mencakup antara lain:

a. Kelompok profesi yang berdasarkan profesinya tergerak menangani masalah lingkungan

b. Kelompok hobi yang mencintai kehidupan alam terdorong untuk melestarikannya

c. Kelompok minat yang berminat untuk membuat sesuatu bagi pengembangan lingkungan hidup.

Batasan, fungsi dan peran LSM dibandingkan dengan pengertian aslinya (dalam arti NGO) menjadi teredusir. Karena keberadaan LSM terutama saat ORBA sarat dgn intervensi pemerintah maka ada beberapa LSM yg kemudian dalam pergerakannya memakai bentuk Yayasan, karena Yayasan lebih fleksibel.

Dalam PBB, sejak tahun 1970-an, NGO memperoleh status resmi (consultative status). NGO juga mempunyai kode etik yang berlaku secara internasional. Sampai sekarang hampir semua kesempatan dalam pertemuan delegasi NGO berhak hadir dengan suara penuh/disediakan forum2 khusus untuk NGO. Kehadiran NGO dalam sistem PBB ini telah pula dilembagakan secara permanen, di bawah UNDP, di sebut NGO Forum, di Indonesia NGO Forum ini mungkin karena kekaburan makna dan keunikan LSM kita, sering menjadi olok-olok "Gongo" (Government NGO), atau LSM-LSM plat merah.

Perkembangan selanjutnya di Indonesia, UU No. 4 tahun 1982 digantikan oleh UU No. 23 tahun 1997 , UU ini tidak menjelaskan definisi LSM (tapi paling tidak UU ini mengakui environment legal standing) sementara itu UU. No. 8 tahun 1985 telah dicabut diganti dgn UU politik Dji Sam Soe/No. 2, 3, 4 yg tdk memuat mengenai LSM (jadi untuk sementara ini, LSM diatur dgn Inmendagri, tapi logikanya Inmendagri ini juga tidak berlaku karena peraturan yg di atasnya telah dicabut) dan kemudian di era Reformasi bentuk Yayasan pun mulai diintervensi pemerintah dengan dikeluarkannya UU Yayasan.

Ada suatu wacana menarik bahwa kemudian NGO merupakan alat bagi neo liberalism, memang bisa saja neo liberalism beroperasi dalam dua lini: ekonomi dan budaya politik, dua level: rezim dan rakyat kelas bawah. Tidak dapat dipungkiri bahwa banyak sekali pihak berduit/pihak asing yang tertarik mendanai kegiatan-kegiatan yang dilakukan NGO di Indonesia dan tentunya ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh NGO untuk memperoleh dana tersebut. Yang perlu menjadi catatan penting adalah sejauh mana tingkat independensi dan bargaining posisition terhadap penyandang dana, terlebih lagi evaluasi kerja LSM dilakukan mereka. Dan bagaimana pertanggungjawaban LSM terhadap masyarakat, sebab sampai saat ini tidak ada mekanisme pertanggungjawaban LSM terhadap masyarakat, jadi masyarakat sendirilah yang menilai keberadaan LSM di tengah-tengah mereka. Jangan kaget kalau suatu saat ada elemen masyarakat yang berkata LSM itu Lembaga Suka Menipu, dan lain-lain. Hal itu merupakan serangkaian pengalaman yang dialami masyarakat, karena ada LSM yang menyelewengkan dana JPS misalnya.

Melihat sejarah dan fenomena tentang LSM di atas, mari kita cermati kembali bagaimanakah LSM yang ada saat ini?

[+/-] Read More...

Wednesday, December 3, 2008

Buku: Akuntansi Keuangan Yayasan dan Lembaga Nirlaba Sejenis

akuntansi keuangan yayasan dan lembaga nirlaba sejenisBerikut ini kutipan dari pengantar buku Akuntansi Keuangan Yayasan dan Lembaga NIrlaba Sejenis yang terdapat di halaman belakang buku ini. Jika anda tertarik dengan buku ini silakan cari di toko buku terdekat (bukan promosi lho :p). Karena kebanyakan LSM menggunakan badan hukum Yayasan, buku ini penting untuk dibaca oleh kalangan LSM.
----------------------
Era reformasi telah membawa peran yayasan atau lembaga nirlaba yang digerakkan oleh masyarakat sendiri menjadi semakin penting. Hal ini secara simultan terutama terjadi karena semakin menyusutnya dana yang tersedia di anggaran pemerintahu untuk mengatasi masalah-masalah dalam masyarakat.

Sejalan dengan perkembangan tersebut, masyarakat menuntut diterapkannya good governance yang baik pada yayasan. Pada pelaksanaannya, prinsip-prinsip transparansi dan akuntabilitas harus dapat dibuktikan.

Akuntansi sebagai salah satu alat untuk menghasilkan informasi yang berkaitan dengan keuangan lembaga dapat mendorong keterbukaan lembaga. Dengan sistem dan prosedur keuangan yang terstruktur, lembaga dapat dengan mudah memenuhi tuntutan transparansi kepada stakeholder-nya. Pelaporan yang tepat waktu dan diikuti kualitas informasi yang tinggi pada satu sisi dapat mendorong kertebukaan, sedangkan pada sisi lain justru menjadi umpan balik kepada internal lembaga. Manajemen lembaga dapar memperoleh masukan dalam menjalankan roda lembaga ke depan.

Buku ini diharapkan dapat menjadi bahan rujukan dalam upaya memajukan keterbukaan yayasan dalam perspektif keuangan. Dengan adanya buku ini, dapat menjembatani pengaturan yang teknis dalam PSAK (Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan) ke dalam aspek praktis pengelolaan aspek keuangan nirlaba.

[+/-] Read More...

Tuesday, December 2, 2008

Strategic Planning Untuk LSM

strategic planning untuk lsmKemarin ada teman yang juga kerja di LSM datang ke kantor. Dia mengajak diskusi tentang rencana Strategic Planning (SP), atau dalam bahasa Indonesia-nya Perencanaan Strategis (Renstra), untuk lembaganya. Selesai itu jadi ingat, kenapa tidak dishare juga buat yang lain di sini? makanya posting ini muncul di sini. Artikel ini sesuai dengan yang saya pahami, alami dan juga rujukan yang saya pakai dari CIVICUS.

Seperti organisasi kebanyakan (pemerintah ataupun profit) dan selayaknya sebagai sebuah organisasi yang profesional, LSM juga harus melakukan Strategic Planning agar lembaga tersebut jelas kemana arahnya, apa cita-citanya dan apa strategi atau pendekatan untuk mencapainya. Boleh dikatakan, Strategic Planning adalah rujukan inti dari setiap aksi LSM tersebut dalam mencapai cita-citanya dalam aktifitas sehari-hari. Strategic Planning juga akan memperjelas tata kelola dan bisa berkontribusi untuk peningkatan kapasitas organisasi bagi LSM.

Ada beberapa hal yang harus dipahami sebelum, saat dan setelah melakukan Strategic Planning bagi sebuah LSM, yaitu:

1. Memahami apa itu Strategic Planning
2. Merencanakan Kegiatan Strategic Planning
3. Menetukan Ruang lingkup Strategic Planning
4. Menentukan framework strategis
5. Penyesuaian hasil Strategic Planning untuk internal lembaga.

Berikut uraiannya:

1. Memahami apa itu Strategic Planning
Strategic Planning penting bagi LSM untuk menjawab pertanyaan berikut ini:
1. Siapa kita?
2. Apa kapasitas yang kita miliki/apa yang bisa kita lakukan?
3. Apa masalah yang kita hadapi?
4. Apa perbedaan yang ingin kita buat?
5. Isu kritis apa yang harus ditanggapi?
6. Kemana sumberdaya harus didistribusikan/apa prioritas

Setelah jawabannya didapat, pertanyaan berikutnya akan juga terjawab:
1. Apa tujuan jangka pendek atau tujuan antara kita?
2. Bagaimana kita mengorganisir diri untuk mencapai tujuan itu?
3. Siapa yang melakukan apa, kapan?

2. Merencanakan Strategic Planning
Tahap selanjutnya adalah merencanakan kegiatan Strategic Planning itu sendiri. dalam tahap ini yang harus diperhatikan adalah:
1. Penjadwalan (timing), biasanya Strategic Planning diadakan selama 4 hari, namun itu tergantung kebutuhan lembaga akan agenda yang harus dibahas. Silakan tentukan sendiri. Untuk Strategic Planning sendiri, sebaiknya diadakan tidak lebih dari satu kali dalam tiga tahun dan paling tidak diadakan satu kali dalam lima tahun. Namun untuk Strategic Review, anda bisa melakukan sekali setahun untuk menyesuaikan hasil Strategic Planning yang telah dilakukan dengan perubahan-perubahan yang terjadi dan mempengaruhi lembaga anda secara signifikan. Untuk Strategic Review cukup dilakukan dalam satu hari atau setengah hari. Kembali kepada kebutuhan lembaga anda, yang pasti Strategic Review bukan untuk merubah hasil Strategic Planning, namun hanya untuk penyesuaian.
2. Siapa yang terlibat dan siapa yang memfasilitas?
Setiap individu di lembaga musti terlibat dalam Strategic Planning. Mengikutsertakan pihak luar seperti lsm mitra, masyarakat dampingan atau pihak lainnya tidak diharuskan namun penting untuk mendapatkan input-input bagi proses Strategic Planning itu sendiri.

Kondisi diatas jika LSM anda tidak begitu banyak memiliki sumberdaya manusia. Jika LSM itu memiliki sumber daya yang banyak dan terorganisir secara komplek, maka petunjuk dibawah ini layak untuk diperhatikan siapa yang setidaknya harus dilibatkan dalam tahap-tahap Strategic Planning:
a. Proses Perencanaan, yang dilibatkan setidaknya: tim manajemen proyek atau organisasi
b. Pemahaman Konteks Strategic Planning, yang dilibatkan seluruh staf, badan pengurus (board). Semua staf administrasi harus dilibatkan jika mereka harus mengerti tentang isu lembaga dan masalah yang dihadapi.
c. Diskusi visi, misi dan nilai-nilai. Yang dilibatkan seluruh staf dan badan pengurus karena ini sangat penting karena ini untuk memberi pemahaman bersama mengapa lsm anda ada dan kenapa bekerja untuk isu yang sedang anda hadapi.
d. Analisa SWOT, disini yang harus dilibatkan adalah staf program dan staf profesional, termasuk juga staf administrasi.
d. Penentuan strategi dan tujuan, staf professional dan badan pengurus harus terlibat dalam proses ini.
e. Struktur oragnisasi, harus melibatkan tim manajemen dengan sejumlah perwakilan dari staf untuk memberi input-input.

Kemudian, siapa yang memfaslitasi? sangat disarankan yang memfasilitasi sebuah proses Strategic Planning adalah orang dari luar dan memang ahli/berpengalaman sebagai fasilitator. Akan lebih baik jika fasilitator mengerti dan paham dengan isu-isu lembaga anda. Misal, jika lsm anda bergerak dibidang kesehatan reproduski remaja, jangan cari fasilitator yang lebih cenderung paham akan isu-isu korupsi. Diskusi awal dengan fasilitator harus dibangun sehingga ada kesiapan fasilitator dan dia paham gambaran LSM anda saat ini. Metode yang digunakan banyak sekali diantaranya yang banyak dipakai adalah LFA dan ZOPP. Tentukan secara bersama sesuai kebutuhan lembaga anda. Bagi lembaga donor tertentu, mereka memiliki metode sendiri untuk diaplikasikan juga bagi mitra-mitra mereka.

[+/-] Read More...

Akuntansi Untuk LSM dan Partai Politik

Sinopsis: Sebagai imbas Reformasi 1998, kebebasan bersuara dan berpendapat menjadi suatu fenomena yang tidak asing ditemui di Indonesia, bahkan bermunculan beraneka ragam PARPOL dan LSM seperti PSASP (Pusat Studi Akuntansi Sektor Publik) yang berfokus pada program perbaikan sistem manajemen administrasi publik untuk institusi publik.

Buku ini ditulis dengan berpijak pada fenomena yang tengah menggejala tersebut dan akan memberikan beberapa panduan praktis bagi LSM dan PARPOL untuk menyusun serta menyiapkan mendanaan dan pelaporan keuangan sebagai bentuk pertanggungjawaban publik. Pelaporan keuangan tersebut mengacu pada regulasi terkait seperti ketentuan pelaporan keuangan yang terdapat dalam UU Yayasan dan UU Parpol, yang mengacu pada standar akuntansi keuangan yang dikeluarkan oleh Ikatan Akuntansi Indonesia.

Buku ini terdiri dari beberapa konsep utama, yaitu: (1) konsep mengenai civil society organization dan NGO/LSM, (2) konsep mengenai sistem akuntansi dan akuntansi biaya pada LSM, dan (3) konsep yang terkait dengan sistem audit pada LSM. Konsep-konsep tersebut tertuang pada topik utama buku ini, yakni akuntansi pada Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan tiga topik khususnya, yakni Akuntansi Partai Politik, Akuntansi Dana Bantuan Lembaga Donor, dan Akuntansi Organisasi Keagamaan.

Lebih lanjut mengenai buku ini silakan kunjungi penerbitnya di Erlangga

[+/-] Read More...

Monday, December 1, 2008

Prosedur Pendirian Cabang Yayasan Asing dan LSM Asing (NGO) di Indonesia

Sumber: http://irmadevita.com/
Berikut adalah penjabaran lebih lanjut mengenai prosedur pendirian kantor perwakilan yayasan dari luar negeri di Indonesia:

1. Permohonan diajukan oleh kantor pusat NGO diluar negeri kepada Departemen Luar Negeri (diajukan kepada Direktorat Multilateral lokasi di depan gedung bioskop Megaria)
Proposal yang diajukan kurang lebih berisi:
a.Tujuan NGO yang harus jelas.
b.Lokasi dimana NGO akan menjalankan kegiatannya (domisi kegiatan)
c.Mitra kerja yang ada (dari dalam negeri)
d.Jangka waktu yang diinginkan (apabila hanya berupa kegiatan bantuan sementara).

2.Mempunyai program kerja yang jelas di Indonesia (dibuktikan dengan adanya perjanjian kerja sama “MOU” dengan pihak departemen terkait di Indonesia, departemen terkait tersebut di tentukan oleh Departemen luar negeri setelah mempelajari Proposal yang telah diajukan);

3.Proposal yang diajukan akan di pertimbangkan oleh Clearing House yang terdiri dari:
a. BIN
b. Bais Polri
c. Bais TNI
d. Departemen hukum dan Hak Asasi Manusia
e. Departemen Dalam Negeri
f. Departemen Tenaga Kerja
g. Kejaksaan Agung

4.Apabila sudah dipertimbangkan dan ternyata tidak membahayakan dan tidak mengancam keamanan maka rekomendasi akan dikeluarkan oleh departemen luar negeri

5.Setelah kerja sama “MOU” dibuat maka ijin akan dikeluarkan oleh departemen luar negeri dengan tembusan ke departemen Dalam Negeri.

Persyaratan pelaksanaan program/kegiatan NGO Asing di daerah terlebih dahulu harus memiliki:
a.Surat Rekomendasi dari Departemen Luar Negeri.
b.Perjanjian kerja sama “MOU” dengan Departemen/lembaga Pemerintah atau lembaga Non-Departemen terkait sesuai dengan kegiatan yang dilakukan oleh NGO asing tersebut (Program Kerja)
c.Surat ijin melaksanakan kegiatan di Indonesia dari Departemen dalam negeri.
d.Surat ijin melaksanakan kegiatan dari Gubernur cq. Kepala badan kesatuan politik Provinsi.

Kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi oleh Perwakilan NGO Asing
1.Bermitra dengan LSM lokal yang telah terdaftar di Departemen Dalam Negeri
2.Mempunyai kantor perwakilan di Ibukota Negara RI (di Jakarta)
3.Melakukan pengelolaan keuangan berdasarkan mekanisme perbankkan nasional.
4.Membuat laporan pertanggung jawaban dan disampaikan kepada pejabat yang berwenang.

Laporan pertanggung jawaban pemantauan dan pengawasan NGO asing ini disampaikan kepada Bupati / Walikota dan kemudian oleh Bupati atau Walikota di sampaikan kepada Gubernur setiap 6 bulan. Dan kemudian Guberbur akan melaporkan kepada Menteri Dalam Negeri setiap 6 bulan sekali.

1. Permohonan diajukan oleh kantor pusat NGO diluar negeri kepada Departemen Luar Negeri (diajukan kepada Direktorat Multilateral lokasi di depan gedung bioskop Megaria)
Proposal yang diajukan kurang lebih berisi:
a.Tujuan NGO harus jelas.
b.Lokasi dimana NGO akan menjalankan kegiatannya (domisi kegiatan)
c.Mitra kerja yang ada
d.Jangka waktu yang diinginkan (apabila hanya berupa kegiatan bantuan sementara).

2.Mempunyai program kerja yang jelas di Indonesia (dibuktikan dengan adanya perjanjian kerja sama “MOU” dengan pihak departemen terkait di Indonesia, departemen terkait tersebut di tentukan oleh Departemen luar negeri setelah mempelajari Proposal yang telah diajukan);

3. Proposal yang diajukan akan di pertimbangkan oleh Clearing House yang terdiri dari:
a. BIN
b. Bais Polri
c. Bais TNI
d. Departemen hukum dan Hak Asasi Manusia
e. Departemen Dalam Negeri
f. Departemen Tenaga Kerja
g. Kejaksaan Agung

4.Apabila sudah dipertimbangkan dan ternyata tidak membahayakan dan tidak mengancam keamanan maka rekomendasi akan dikeluarkan oleh departemen luar negeri

5.Setelah kerja sama “MOU” dibuat maka ijin akan oleh departemen luar negeri dengan tembusan ke departemen Dalam Negeri.

Persyaratan pelaksanaan program/kegiatan NGO Asing di daerah terlebih dahulu harus memiliki:
a.Surat Rekomendasi dari Departemen Luar Negeri.
b.Perjanjian kerja sama “MOU” dengan Departemen/lemabaga Pemerintah atau lembaga Non-Departemen terkait sesuai dengan kegiatan yang dilakukan oleh NGO asing tersebut (Program Kerja)
c.Surat ijin melaksanakan kegiatan di Indonesia dari Departemen dalam negeri.
d.Surat ijin melaksanakan kegiatan dari Gubernur cq. Kepala badan kesatuan politik Provinsi.

Kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi oleh Perwakilan NGO Asing

1.Bermitra dengan LSM lokal yang telah terdaftar di Departemen Dalam Negeri
2.Mempunyai kantor perwakilan di Ibukota Negara RI (di Jakarta)
3.Melakukan pengelolaan keuangan berdasarkan mekanisme perbankkan nasional.
4.membuat laporan pertanggung jawaban melalui pejabat yang berwenang.
Pejabat yang berwenang dalam hal ini adalah:
Laporan pemantauan dan pengawasan NGO asing ini disampaikan kepada Bupati / Walikota dan kemudian oleh Bupati atau Walikota di sampaikan kepada Gubernur setiap 6 bulan. Dan kemudian Guberbur akan melaporkan kepada Menteri Dalam Negeri setiap 6 bulan sekali.(akan dibuat peraturan baru mengenai hal ini dikarenakan banyaknya yayasan/LSM dari luar negeri yang masuk seenaknya ke Indonesia dengan tujuan dan kegiatan yang kurang dapat dipertanggung jawabkan seperti LSM-LSM yang banyak bermunculan di Aceh pasca Sunami )

Berdasarkan keterangan yang diberikan oleh bapak Bejo sampai dengan saat ini baru ada dua NGO yang memiliki kantor perwakilan di Indonesia yang lainnya hanya lah bantor cabang di Indonesia.

Kantor Cabang NGO

NGO Asing bisa juga membuat kantor cabang di Indonesia yaitu dengan membuat MOU kerja sama dengan instansi terkait dengan kegiatan NGO tersebut tanpa adanya Rekomendasi dari Departemen Luar Negeri hal seperti ini dinamakan dengan nama Kegiatan Bantuan.

Kegiatan bantuan ini hanyalah bersifat sementara tergantung dari kegiatan dan berapa lama kegiatan NGO asing tersebut akan dilakukan di Indonesia ijin ini juga dapat diperpanjang apabila diperlukan.

Kegiatan bantuan ini hanyalah bersifat sementara tergantung dari kegiatan dan berapa lama kegiatan NGO asing tersebut akan dilakukan di Indonesia ijin ini juga dapat diperpanjang apabila diperlukan.

Note:
Data mengenai hasil riset ini di dapat dari beberapa departemen terkait mengenai hal ini data yang didapat berdasarkan verbal konfirmasi dari petugas di lapangan.

[+/-] Read More...

Dicari: Badan Hukum LSM

Sumber: Tempo
Oleh: Zaim Saidi Aktif Di PIRAC

Persoalan badan hukum bagi lembaga swadaya masyarakat (LSM) semakin krusial dengan diberlakukannya UU No. 16/2001 tentang Yayasan, mulai 6 Agustus 2002 ini. Pada umumnya, barangkali, 99 persen LSM di Indonesia memang berbadan hukum yayasan, hingga harus tunduk pada UU tersebut.

Bagi sebagian aktivis LSM, hal ini menjadi masalah karena UU ini dinyatakan akan menimbulkan intervensi pemerintah dalam berbagai hal. Maka, pilihannya adalah antara menerima UU ini dan menyesuaikan dengannya, mencoba mengubahnya hingga potensi pemerintah mengintervensi LSM diperkecil, atau menghindarinya dengan cara mencari badan hukum lain.

Masalah ini sendiri dapat ditelaah dari berbagai sudut pandang, khususnya hukum dan sosial politik. Dari segi hukum tentu akan menghasilkan telaah yang positivistik, dan zakelek, hingga mempersempit pilihan-pilihan bagi aktivis LSM. Sementara itu, suatu kajian yang umum sifatnya, dengan melihat dari perspektif sosial politik, memungkinkan berbagai pilihan lain dapat terbuka.

Cara pandang ini dimulai dengan menelaah pilihan-pilihan visi dan misi kelembagaan yang diwujudkan sebagai LSM itu, dibandingkan dengan misi dan visi kelembagaan lain. Dengan kata lain, pilihan badan hukum dilihat hanya sebagai instrumen dan konsekuensi logis dari visi dan misi tersebut. Tabel di bawah ini memperlihatkan tiga visi kemanusiaan, yakni ekonomi, sosial-ekonomi, dan sosial-politik.

Visi ekonomi jelas diterjemahkan dalam misi komersial, untuk mencari laba demi keuntungan sendiri (self benefit), dan diwadahi dalam badan hukum yang cocok untuk itu, seperti PT, CV, atau NV. Visi sosial-ekonomi diterjemahkan dalam misi semikomersial, untuk mencari laba bersama (mutual benefit), dan diwadahi dalam badan hukum yang cocok untuk itu, yaitu koperasi atau perkumpulan (asosiasi).

Visi sosial politik diterjemahkan dalam misi sosial atau politik, untuk meningkatkan kesejahteraan (nirlaba) atau mengejar kekuasaan, dan diwadahi dalam badan hukum yang cocok untuk itu, yaitu yayasan untuk yang nirlaba dan kelembagaan politik yang tanpa badan hukum tapi diatur dalam satu kerangka perundang-undangan tertentu (UU Keormasan dan UU Politik) bagi yang berorientasi kekuasaan. Lalu, di mana LSM?

Di sinilah mulai timbul persoalan. LSM memiliki visi sosial politik, karena bertujuan meningkatkan kesejahteraan, tapi bersentuhan dengan kekuasaan (politik). Di masa Orde Baru, pilihan badan hukum LSM dalam bentuk yayasan jelas memiliki tujuan taktis, yakni menghindari kontrol kekuasaan, sebagaimana dilakukan terhadap parpol dan ormas. Yayasan menjadi pilihan satu-satunya bagi LSM karena bentuk yang lain, PT dan koperasi misalnya, tentu tidak sesuai dengan misinya. Tanpa ada undang-undang yang secara khusus mengaturnya, kehidupan yayasan, dan karenanya LSM, menjadi luar biasa bebasnya--dan Orde Baru kehilangan alat kontrol, bahkan sesungguhnya ikut memanfaatkannya untuk tujuan politik dan komersial.

Penyalahgunaan badan hukum yayasan dinikmati secara beramai-ramai pula, oleh LSM serta "yayasan-yayasan Cendana" dan "yayasan tentara", dalam konteks dan bentuk yang berbeda-beda. Ribuan yayasan lain, terutama yang berdalih menyelenggarakan jasa pendidikan dan kesehatan, ikut pula dalam gerbong pemanfaatan kevakuman hukum yayasan. Dengan latar belakang ini, dan semangat menghentikan penyalahgunaan inilah, orde reformasi di bawah tekanan IMF melahirkan UU Yayasan.

Akibatnya, opini mengenai UU ini, dan dampaknya terhadap LSM, terbelah dua: sebagian berpendapat sangat baik demi membangun keteraturan dan keterbukaan; dan sebagian berpendapat kurang baik karena alasan yang disebut di atas, memudahkan intervensi negara terhadap LSM. Di tengah perdebatan ini sebagian kecil LSM telah meresponsnya dengan cepat, yakni mengubah badan hukumnya dari yayasan menjadi perkumpulan.

UU Yayasan jelas tetap diperlukan untuk mengatur kelembagaan yang memang visi dan misinya sepenuhnya kemanusiaan dan sedekah. Kita tahu penyalahgunaan badan hukum yayasan untuk kepentingan pribadi sesungguhnya tidak cuma terjadi pada "yayasan Cendana" dan "yayasan tentara" di atas, tapi juga yayasan-yayasan yang mengoperasikan sekolah-sekolah dan rumah-rumah sakit yang komersial.

Tentu kehadiran UU Yayasan tetap harus dicermati jangan sampai mematikan niat baik warga negara yang ingin mengabdikan visi kemanusiaan dan sedekahnya. Sementara itu, untuk LSM agaknya memang perlu dicari badan hukum lain, meski tidak harus buru-buru diputuskan sebagai perkumpulan. Sebab, negara akan dengan mudah melahirkan undang-undang lain untuk perkumpulan, kalau memang tujuannya untuk mengontrol keberadaannya.

Karenanya, mungkin yang perlu dirancang justru suatu perundang-undangan untuk kegiatan nirlaba secara umum. Suatu undang-undang yang dirancang untuk mengatasi berbagai persoalan sektor nirlaba ini sendiri, bukan sekadar sebagai alat kontrol dari perspektif negara. Sebab, sektor nirlaba di Indonesia juga menghadapi berbagai persoalan lain menyangkut profesionalisme, akuntabilitas, dan keberlanjutan finansialnya.

Hal-hal yang berkaitan dengan masalah perpajakan, misalnya, sebaiknya dimasukkan dalam undang-undang nirlaba ini. Hingga, misalnya saja, lahir undang-undang baru tentang perkumpulan juga mendukung (enabling) dan bukan menelikung sifatnya.

Dalam konteks sekarang badan hukum bagi gerakan kemanusiaan, yang bersentuhan dengan misi sosial dan politik, sebagaimana dijalankan LSM, seyogianya cuma merupakan keperluan praktis. Misalnya, dalam kaitan dengan masalah-masalah administratif, seperti pendaftaran, pembukaan rekening bank; bukan lagi soal "kucing-kucingan" politik seperti dengan Orde Baru dulu.

[+/-] Read More...

LSM / NGO INDONESIA UNTUK PENGUATAN MASYARAKAT SIPIL INDONESIA © 2008 Template by Dicas Blogger | Development Job | Nanang | Wayoi | Island Vacation | Hotel | Indo Lawyer.

TOP