Monday, December 1, 2008

Dicari: Badan Hukum LSM

Sumber: Tempo
Oleh: Zaim Saidi Aktif Di PIRAC

Persoalan badan hukum bagi lembaga swadaya masyarakat (LSM) semakin krusial dengan diberlakukannya UU No. 16/2001 tentang Yayasan, mulai 6 Agustus 2002 ini. Pada umumnya, barangkali, 99 persen LSM di Indonesia memang berbadan hukum yayasan, hingga harus tunduk pada UU tersebut.

Bagi sebagian aktivis LSM, hal ini menjadi masalah karena UU ini dinyatakan akan menimbulkan intervensi pemerintah dalam berbagai hal. Maka, pilihannya adalah antara menerima UU ini dan menyesuaikan dengannya, mencoba mengubahnya hingga potensi pemerintah mengintervensi LSM diperkecil, atau menghindarinya dengan cara mencari badan hukum lain.

Masalah ini sendiri dapat ditelaah dari berbagai sudut pandang, khususnya hukum dan sosial politik. Dari segi hukum tentu akan menghasilkan telaah yang positivistik, dan zakelek, hingga mempersempit pilihan-pilihan bagi aktivis LSM. Sementara itu, suatu kajian yang umum sifatnya, dengan melihat dari perspektif sosial politik, memungkinkan berbagai pilihan lain dapat terbuka.

Cara pandang ini dimulai dengan menelaah pilihan-pilihan visi dan misi kelembagaan yang diwujudkan sebagai LSM itu, dibandingkan dengan misi dan visi kelembagaan lain. Dengan kata lain, pilihan badan hukum dilihat hanya sebagai instrumen dan konsekuensi logis dari visi dan misi tersebut. Tabel di bawah ini memperlihatkan tiga visi kemanusiaan, yakni ekonomi, sosial-ekonomi, dan sosial-politik.

Visi ekonomi jelas diterjemahkan dalam misi komersial, untuk mencari laba demi keuntungan sendiri (self benefit), dan diwadahi dalam badan hukum yang cocok untuk itu, seperti PT, CV, atau NV. Visi sosial-ekonomi diterjemahkan dalam misi semikomersial, untuk mencari laba bersama (mutual benefit), dan diwadahi dalam badan hukum yang cocok untuk itu, yaitu koperasi atau perkumpulan (asosiasi).

Visi sosial politik diterjemahkan dalam misi sosial atau politik, untuk meningkatkan kesejahteraan (nirlaba) atau mengejar kekuasaan, dan diwadahi dalam badan hukum yang cocok untuk itu, yaitu yayasan untuk yang nirlaba dan kelembagaan politik yang tanpa badan hukum tapi diatur dalam satu kerangka perundang-undangan tertentu (UU Keormasan dan UU Politik) bagi yang berorientasi kekuasaan. Lalu, di mana LSM?

Di sinilah mulai timbul persoalan. LSM memiliki visi sosial politik, karena bertujuan meningkatkan kesejahteraan, tapi bersentuhan dengan kekuasaan (politik). Di masa Orde Baru, pilihan badan hukum LSM dalam bentuk yayasan jelas memiliki tujuan taktis, yakni menghindari kontrol kekuasaan, sebagaimana dilakukan terhadap parpol dan ormas. Yayasan menjadi pilihan satu-satunya bagi LSM karena bentuk yang lain, PT dan koperasi misalnya, tentu tidak sesuai dengan misinya. Tanpa ada undang-undang yang secara khusus mengaturnya, kehidupan yayasan, dan karenanya LSM, menjadi luar biasa bebasnya--dan Orde Baru kehilangan alat kontrol, bahkan sesungguhnya ikut memanfaatkannya untuk tujuan politik dan komersial.

Penyalahgunaan badan hukum yayasan dinikmati secara beramai-ramai pula, oleh LSM serta "yayasan-yayasan Cendana" dan "yayasan tentara", dalam konteks dan bentuk yang berbeda-beda. Ribuan yayasan lain, terutama yang berdalih menyelenggarakan jasa pendidikan dan kesehatan, ikut pula dalam gerbong pemanfaatan kevakuman hukum yayasan. Dengan latar belakang ini, dan semangat menghentikan penyalahgunaan inilah, orde reformasi di bawah tekanan IMF melahirkan UU Yayasan.

Akibatnya, opini mengenai UU ini, dan dampaknya terhadap LSM, terbelah dua: sebagian berpendapat sangat baik demi membangun keteraturan dan keterbukaan; dan sebagian berpendapat kurang baik karena alasan yang disebut di atas, memudahkan intervensi negara terhadap LSM. Di tengah perdebatan ini sebagian kecil LSM telah meresponsnya dengan cepat, yakni mengubah badan hukumnya dari yayasan menjadi perkumpulan.

UU Yayasan jelas tetap diperlukan untuk mengatur kelembagaan yang memang visi dan misinya sepenuhnya kemanusiaan dan sedekah. Kita tahu penyalahgunaan badan hukum yayasan untuk kepentingan pribadi sesungguhnya tidak cuma terjadi pada "yayasan Cendana" dan "yayasan tentara" di atas, tapi juga yayasan-yayasan yang mengoperasikan sekolah-sekolah dan rumah-rumah sakit yang komersial.

Tentu kehadiran UU Yayasan tetap harus dicermati jangan sampai mematikan niat baik warga negara yang ingin mengabdikan visi kemanusiaan dan sedekahnya. Sementara itu, untuk LSM agaknya memang perlu dicari badan hukum lain, meski tidak harus buru-buru diputuskan sebagai perkumpulan. Sebab, negara akan dengan mudah melahirkan undang-undang lain untuk perkumpulan, kalau memang tujuannya untuk mengontrol keberadaannya.

Karenanya, mungkin yang perlu dirancang justru suatu perundang-undangan untuk kegiatan nirlaba secara umum. Suatu undang-undang yang dirancang untuk mengatasi berbagai persoalan sektor nirlaba ini sendiri, bukan sekadar sebagai alat kontrol dari perspektif negara. Sebab, sektor nirlaba di Indonesia juga menghadapi berbagai persoalan lain menyangkut profesionalisme, akuntabilitas, dan keberlanjutan finansialnya.

Hal-hal yang berkaitan dengan masalah perpajakan, misalnya, sebaiknya dimasukkan dalam undang-undang nirlaba ini. Hingga, misalnya saja, lahir undang-undang baru tentang perkumpulan juga mendukung (enabling) dan bukan menelikung sifatnya.

Dalam konteks sekarang badan hukum bagi gerakan kemanusiaan, yang bersentuhan dengan misi sosial dan politik, sebagaimana dijalankan LSM, seyogianya cuma merupakan keperluan praktis. Misalnya, dalam kaitan dengan masalah-masalah administratif, seperti pendaftaran, pembukaan rekening bank; bukan lagi soal "kucing-kucingan" politik seperti dengan Orde Baru dulu.

This post has 1 comment:

Sang Marhaen said...

lalu kalo bgt gimana caranya mendaftarkan LSM?

LSM / NGO INDONESIA UNTUK PENGUATAN MASYARAKAT SIPIL INDONESIA © 2008 Template by Dicas Blogger | Development Job | Nanang | Wayoi | Island Vacation | Hotel | Indo Lawyer.

TOP