Sunday, November 30, 2008

Tips Bertahan Menjadi Aktivis LSM

Bagi Anda yang memilih jalan hidup untuk aktif di LSM atau bagi anda yang telag bekerja di LSM pernahkah terpikirkan apa yang membuat anda bisa bertahan hidup di LSM? LSM di negara-negara selatan (negara berkembang ataupun terbelakang) tidak menjanjikan untuk memberi kebutuhan hidup yang berlebih, termasuk di Indonesia. Itu harus dipahami. LSM bukanlah entitas yang memiliki atau menguasai sumberdaya seperti "negara" dan "pasar". Eksistensi organisasi LSM, keberlanjutan programnnya dan kemampuan menggaji stafnya tergantung dari kreatifitas meraih sumbangan dari lembaga donor, dermawan (philantrophist), CSR, sayap-sayap usaha lembaga (dana lembaga yang dijadikan modal usaha dan keuntungannya bukan untuk perorangan tapi untuk program lembaga).

Jika anda bekerja di LSM hanya untuk jadi pekerja rutin maka tinjau lagi motivasi anda untuk bekerja itu. Sampai kapan anda akan bertahan, kecuali anda betul-betul telah mendedikasikan hidup anda secara total untuk hidup apa adanya dan bebas dari tuntutan kebutuhan dari keluarga, anak-anak anda dan masa depan mereka dan menyadari membangun karir di LSM itu berbeda dengan membangun karir di perusahaan atau institusi pemerintahan. Tapi, seberapa banyak orang yang beritikad seperti itu? pasti tidak seberapa.

Selama ini mungkin hanya idealisme dan kerelawanan yang menjadi motivasi, namun sebenarnya tidak cukup sampai disitu jika anda ingin menjadi aktivis LSM yang profesional. Berikut ini adalah tips yang harus anda kuasai agar anda menjadi aktivis LSM yang mampu bertahan tanpa harus hidup dalam kekurangan namun juga tidak mengurangi idealisme dan jiwa kerelawanan anda.

1. Kapasitas
Kemampuan anda adalah modal untuk tetap bertahan di LSM. Tanpa kemampuan yang mumpuni, anda tidak ubahnya orang-orang yang bekerja atas perintah atasan tanpa pernah punya peluang untuk jadi atasan. Egalitarian memang perlu, namun sebagai sebuah organisasi yang profesional, LSM juga harus memiliki organisasi yang terstruktur secara vertikal tanpa mengabaikan kesetaraan dalam interaksi dan implementasi program.

Tidak hanya untuk urusan internal, kapasitas anda juga menjadi dasar bagi LSM mitra atau pihak lain untuk bekerjasama dengan anda. Orang diluar organisasi anda hanya akan melihat anda sebagai pekerja rutin harian di lembaga anda jika anda tidak punya kapasitas yang bisa mengangkat daya tarik anda untuk diajak kerjasama atau dimintakan tenaganya, misalnya menjadi fasilitator, peneliti, pembicara disebuah seminar, atau lainnya.

Karena itu tingkatkan terus kapasitas anda sambil terus bekerja. Ambil setiap peluang yang bisa meningkatkan kapasitas anda.

2. Kreativitas
Setiap orang paham, mau jadi apapun, kreativitas tetap menjadi sesuatu hal yang penting. Tapi, tidak banyak yang bisa melakukannya. Bila anda setelah membaca artikel ini menyadari selama ini anda paham manfaat kreativitas tapi tidak melakukannya, maka mulailah untuk kreatif agar anda tidak menyesal meilih hidup menjadi aktivis LSM.

Disini tidak akan menjelaskan panjang lebar apa itu kreativitas dan bagaimana cara untuk kreatif, sudah terlalu banyak artikel-artikel tentang ini. Namun satu hal saja yang harus diingat, kreatif dalam aksi dan tindakan harus tetap dimulai dari kreatif dalam pikiran.

3. Jaringan
Asyik dalam aktivitas sehari-hari dikantor atau dengan masyarakat dampingan anda tidak akan memperluas jaringan anda. Berinteraksilah dengan berbagai kalangan dan institusi, dimulai dari lsm-lsm yang ada dan anda kenal. Bangun jaringan baik secara institusi maupun personal. Kapasitas dan kreatifitas anda tidak akan berarti apa-apa jika jaringan anda tidak ada karena tidak ada yang mengenal anda lebih detail sehingga tidak ada yang akan meminta keahlian anda untuk mereka.

Aktif di milis-milis atau berpendapat dengan menulis artikel, baik untuk di media ataupun di blog anda sendiri adalah langkah awal yang cukup baik. Menghadiri forum-forum yang dihadiri kalangan LSM dan bersuara di sana juga suatu point anda. Semakin banyak yang kenal anda dan tahu kapasitas anda, akan banyak yang menjadi dekat dengan anda.

4. Kepercayaan (trust)
Kepercayaan adalah segala-galanya. Kerelawanan, idealisme, kapasitas, kreatifitas dan jaringan yang telah anda bangun tidak akan ada artinya jika tidak ada kerpercayaan untuk anda atau kepercayaan itu anda rubuhkan dengan perbuatan yang tidak jujur. Jaga trust dari setiap pihak yang berpotensi bagi anda dengan bersikap jujur dalam setiap pikiran dan tindakan anda.

Kejujuran adalah segala-galanya apabila anda memang yakin bahwa anda tidak bisa menggaji diri anda sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidup anda.

[+/-] Read More...

Thursday, November 27, 2008

Akuntabilitas LSM, Kepentingan Siapa?

Sumber: Web KPMM

Oleh: Nanang E. S (Staf KPMM)

Tidak banyak yang menanggapi, terutama dari kalangan LSM sendiri, ketika isu akuntabilitas mencuat dalam beberapa kali pemberitaan di Kompas beberapa hari belakangan ini. Juga menjadi sebuah pertanyaan ada apa dibalik pemberitaan itu?

Kenapa pemberitaan yang memang tidak se-seksi isu resufle kabinet Indonesia Bersatu itu kerap muncul. Ada apa dengan akuntabilitas LSM? Benarkah isu ini turut menjadi komoditi wacana politik kepentingan penguasa saat ini?, ataukah LSM di negara ini memang sudah tidak akuntabel dan tidak peduli dengan prinsip “akuntabilitas” itu sehingga patut untuk disebut sebagai keranjang sampah?, kepentingan siapa sebenarnya akuntabilitas LSM itu?.

Tidak ada yang baru apabila isu akuntabilitas LSM ini tampil kepermukaan, hanyalah pengulangan seperti yang diberitakan Kompas (12/4). Terlebih apabila yang mewacanakannya adalah pemerintah atau juga mungkin sektor swasta yang kebijakan dan kepentingannya sering berseberangan dengan LSM.

Bicara tentang akuntabilitas LSM sebenarnya dapat dilihat dari sudut padang siapa yang meminta akuntabilitas itu sehingga juga akan dapat diprediksi apa kepentingan dibaliknya. Salah satu ciri akuntabilitas yang digaungkan oleh pemerintah adalah cenderung menafsirkan akuntabilitas LSM itu pada sisi finansial dan harus bersedia diikat dengan regulasi. Tujuannya untuk mengontrol dan memonitor dari mana uang yang ada pada LSM itu mengalir dan untuk apa saja digunakan, apa saja kerugian pemerintah karenanya, khususnya di sisi kepentingan politik (baik nasional maupun internasional) dan dalil nama baik dan keamanan negara.

Menitikberatkan persoalan akuntabilitas LSM pada sisi finansial dalam regulasi sangat sesuai logika karena uang adalah kebutuhan esensial bagi LSM (juga bagi organisasi apapun) untuk menunjang biaya operasional. Mustahil ada LSM mampu bertahan tanpa dukungan dana dalam waktu yang panjang, apalagi sampai bisa kritis dan vokal dalam keadaan “kelaparan”. Sungguhpun uang bukanlah segalanya.

Dalam kecenderungan global, akuntabilitas LSM itu juga menjadi pintu masuk bagi pemerintah untuk memonitor, mengontrol dan bahkan memborgol LSM, tergantung kepentingan pemerintah saat itu. Sebagai contoh, pemerintah AS sejak tragedi serangan teroris tahun 2001 lalu telah mewajibkan LSM-LSM yang ada di sana (yang sebagian besar adalah menjadi donor bagi LSM-LSM di negara berkembang dan terbelakang) untuk tidak menyalurkan dana bagi organisasi teroris yang ada dalam daftar pemerintah. Di Bangladesh, sebagai sebuah negara berkembang dan LSM di sana umumnya tujuan aliran donasi dalam bentuk uang, lain lagi model peraturan yang dibuat pemerintahnya. Setiap dana yang mengalir dari luar untuk LSM di Bangladesh harus melalui rekening pemerintah. Selain bertujuan untuk mengetahui dan memonitor aktifitas penggunaan dana, juga untuk mendapatkan pendapatan negara dari selisih kurs. Deskripsi diatas menunjukkan bahwa isu akuntabilitas LSM yang dilempar pemerintah tersebut sungguh sangat bergantung dengan kontekstual kepentingan politik saat itu.

Lalu dalam konteks LSM di Indonesia, adakah peluang pemerintah saat ini untuk mengatur akuntabilitas LSM untuk tujuan-tujuan seperti itu? Apabila kita tinjau dari trend perkembangan LSM sejak Orde Baru maka yang terbayang adalah kekhawatiran akan kembalinya pengekangan kebebasan berserikat dan berkumpul (terutama ber-LSM) serta mengekspresikan pendapat di muka umum dimana kedua hal tersebut modal identitas bagi LSM. Regulasi yang diberi label “Demi Transparansi dan Akuntabilitas LSM” seakan menjadi kerikil baru yang kembali harus dilalui dalam sehari-hari, apalagi bila dikaitkan dengan pola interaksi antara pemerintah dan sebagian besar LSM yang hingga saat ini cenderung bertentangan. Otoritas untuk membuat regulasi oleh pemerintah seakan-akan dimanfaatkan sebagai senjata untuk membidik LSM.

Tidak banyak LSM yang tumbuh dan bertahan di masa Orde Baru, kecuali bersedia menjadi LSM plat merah atau melacurkan diri agar tetap bertahan. LSM-LSM yang mencoba konsisten untuk memperjuangkan masyarakat marginal pada saat itu betul-betul tertatih-tatih berkembang di bawah represifnya sebuah rezim. Tinjuan singkat historis ini satu alasan kenapa LSM begitu resisten dan menolak campur tangan regulasi tentang LSM dari pemerintah. Namun bukan berarti tuntutan kepada LSM untuk transparan dan akuntabel berhenti sampai di sini.

Ketika reformasi bergulir dan kelonggaran dalam berserikat dan berkumpul lebih terasa, LSM tumbuh menjamur dan ada dimana-mana serta merayap ke setiap lini kehidupan, mulai dari lingkungan sampai ke kesehatan, dari masalah hutan terus merambat ke pemerintahan, dari masyarakat adat lokal dan marginal ke masalah yudisial, dari masalah hak asasi manusia sampai ke recovery bencana, dan seterusnya dan seterusnya. Peluang dan kebebasan ini betul-betul paralel dengan partisipasi sipil melalui pendirian LSM sehingga diakhir tahun sebilan puluhan LSM di Indonesia betul-betul mengalami extraordinary growth dan melengkapi booming LSM di dunia yang telah dimulai sejak berakhirnya perang dingin dan merdekanya negara-negara di eropa timur (pecahan Soviet), Afrika dan belahan dunia lainnya. Keberhasilan people power yang digerakkan sipil di Philipina turut mempengaruhi.

Sayangnya pertumbuhan LSM yang luar biasa itu juga ditumpangi kepentingan oknum di luar LSM untuk mendapatkan proyek dan bantuan dari luar negeri untuk normalisasi kehidupan bangsa pasca resesi ekonomi dengan ikut-ikutan mendirikan LSM. Dari pada proyek lepas ke orang lain, lebih baik ajak keluarga, teman-teman dan konco-konco mendirikan LSM.

Selain itu ada juga LSM yang menjadi kaki tangan pemerintah dan politisi untuk mengamankan dan melebarkan jalan masing-masing ke tampuk kekuasaan. Dalam banyak kasus, LSM juga turut terlibat dalam kong kalikong untuk menggembos anggaran negara. Walaupun pada dasarnya LSM seperti itu dapat dikategorikan sebagai LSM gadungan, namun peluang yang begitu mudah untuk mengklaim diri sendiri (baca: organisasi) sebagai sebuah LSM pada saat itu (bahkan hingga sekarang) betul-betul menjadi dampak negatif reformasi dan publik bingung atau mungkin tidak mau ambil pusing untuk membedakannya. Dalam waktu yang singkat, LSM gadungan, LSM preman, LSM plat merah, LSM bermental proyek dan oportunis, LSM busuk dan dan LSM jadi-jadian lainnya nebeng dan turut berkembang. Semuanya telah bercampur menjadi satu dunia “Lembaga Swadaya Masyarakat”. Akibatnya, LSM secara keseluruhan mulai mengalami kemerosotan dukungan moral dari publik.

Para oportunis yang telah merasa berada dalam lingkungan dunia LSM menjadi biang pembusukkan LSM dari dalam dan berangsur-angsur telah menjadi peluang bagi pihak diluar LSM untuk menjadikan situasi ini menjadi semakin sistemik untuk menghambat, membungkam dan kalau perlu menghancurkan sikap kritis LSM. Kasus-kasus yang mencemarkan citra buruk bagi LSM serta paradoks-nya antara ucapan dan perbuatan aktifis LSM itu sendiri telah membuat publik semakin apatis, phobia dan men-generalisir persepsi negatif tentang LSM.

Di mana-mana LSM mulai dipertanyakan eksistensi, agenda dan konsistensinya yang bermuara pada gugatan good ngo governance, terutama transparansi dan akuntabilitasnya. Efektifitas dan kontiniutas programnya mulai diragukan dalam membawa perubahan yang lebih baik bagi masyarakat. Cibiran dan jawaban yang tidak simpatik mulai mengekpresi di wajah awam apabila ditanyakan tentang “apa itu LSM?”. Label-label negatif mulai menempeli LSM. LSM sering diasosiasikan sebagai sumber radikalisme dan provokator massa, penjual harga diri dan mencoreng nama baik bangsa di mata internasional. Terlibat dalam praktik yang diharamkannya seperti korupsi dan menjadi underbouw partai politik dan ikut-ikutan mengejar kekuasaan. Senang melanggengkan status quo dan pucuk kepemimpinan. Situasi ini menjadikan LSM (sekali lagi: LSM tulen) berada pada posisi yang serba sulit walapun belum tentu semua tuduhan itu benar dan dapat diklarifikasi.

Keadaan ini sebenarnya tidak jauh berbeda seperti yang di alami LSM di negara-negara lainnya. Di Pakistan dan Bangladesh, LSM selalu dituduh penyebab dalam setiap gerakan frontal fundamental. Di Negara-negara asia tengah LSM di identikkan sebagai perancang untuk menjatuhkan politisi. Di Negara-negara pecahan Soviet dan termasuk Rusia, LSM dipersepsikan sebagai pelindung dan topeng bagi organisasi kriminal. Survey World Economic Forum tahun 2003 menunjukkan bahwa terjadi penurunan tingkat public trust terhadap LSM walaupun level kepercayaan tersebut masih berada diatas politisi, swasta, guru dan agamawan.

Kembali ke Indonesia, walaupun fenomena pembususkan LSM ini dapat dirasakan dan telah mengarah ke stadium yang meresahkan aktifis LSM tulen karena harus kena getahnya, namun tidak semua LSM di tanah air memanfaatkan keresahan ini sebagai sebuah tantangan baru untuk mengangkat posisi kearah yang lebih baik dan membuktikan bahwa LSM tidak hanya pandai omong doang dan suka mengkritik Ketika gugatan good government governance ditujukan publik ke pemerintah dan good corporate governance ke sektor swasta, seharusnya kalangan LSM harus mampu mengantisipasi bahwa suatu waktu gugatan itu dapat berubah arah ke LSM itu sendiri. Bila perlu dari awal menunjuk hidung dan menggugat diri sendiri. Sehingga sekeras apapun tekanan kepada LSM untuk bersikap transparan dan akuntabel dalam mewujudkan good governance-nya, tinggal hanya menunjukkan bukti.

Jarang juga terdengar terdapatnya proses saling mengingatkan diantara sesama LSM agar menerapkan transparansi dan akuntabilitas. Padahal jujur saja ada LSM yang mengetahui kekurangan dan kecurangan LSM lainnya. Tidak mencampuri urusan rumah tangga orang lain dan senioritas antar aktifis LSM mungkin menjadi alasannya, disamping juga tidak tersedianya energi dan dukungan untuk itu. Sekedar catatan tambahan, tidak ada jaminan bahwa senioritas dan kemampuan bertahan hidup di LSM sejak Orde Baru akan berbanding lurus dengan integritas dan akuntabilitas.

Sebenarnya, pentingnya akuntabilitas LSM itu akan disadari apabila kita juga memahami peran yang dibawakan LSM. LSM adalah pembawa perubahan sosial yang efektif, mengatasnamakan masyarakat marginal, ada pihak penyandang dana yang sebagian besar berasal dari pihak asing, dan menjalankan fungsi-fungsi menejerial organisasi dan program. Semua itu bersifat publik karena kepentingan masyarakat sangat melekat erat sehingga wajar dimintai transparansi dan akuntabilitasnya karena gerakan LSM memiliki efek sosial, ada keterkaitan dengan penyandang dana serta membawa nama komunitas marginal. Pentingnya transparansi dan akuntabilitas itu menjadi semakin penting bila disesuaikan dengan buruknya citra yang melekat pada LSM saat ini.

Sampai di sini penulis yakin bahwa kawan-kawan di LSM dapat menerima dan mungkin juga lebih dahulu paham dan mengerti bahwa esensi trasparansi dan akuntabilitas LSM itu bukan hanya kepentingan sepihak pemerintah namun juga kepentingan LSM itu sendiri. Bahkan ruang lingkup transparansi dan akuntabilitas itu lebih luas dari sekedar audit keuangan dan publikasinya karena antara pemerintah dan LSM terdapat latar belakang, persepsi dan motivasi yang berbeda tentang perlunya transparansi dan akuntabilitas LSM. Perbedaan latar belakang, persepsi dan motivasi ini adalah alasan yang mendasar kenapa LSM harus menolak regulasi pemerintah dalam menentukan standar transparansi dan akuntabilitas LSM. Karena dibalik regulasi oleh pemerintah yang ditujukan ke LSM, cenderung terdapat kepentingan represif untuk membatasi sebuah gerakan sosial.

Lagi pula isu akuntabilitas LSM ini bukan hanya komoditi perdebatan domestik, namun sudah universal. Di banyak negara, LSM secara kolektif telah menjabarkan prinsip transparansi dan akuntabilitas itu dengan menyusun dan mengikatkan diri dalam kode etik, melakukan monitoring dan evaluasi, pe-rating-an, sertifikasi dan peningkatan partispasi dan sikap kritis publik dalam mengontrol LSM behavior. Semua itu self action yang mandiri tanpa campur tangan pemerintah di dalamnya. Tujuannya untuk menunjukkan bahwa LSM juga bisa transparan dan akuntabel. Hasilnya bisa meningkatkan posisi tawar dan martabat LSM itu sendiri dan meningkatkan public trust. Aksi nyata yang dapat djadikan contoh seperti yang pernah dibuat oleh American Council for Voluntary International Action, the Canadian Council for International Cooperation, the Philippine Council for NGO Certification, the Voluntary Action Network India, the Commonwealth Foundation of Britain, the International Red Cross and Red Crescent Movement, Credibility Alliance di India, Africa Union, NGO Code of Conduct di Botswana, Codes of Standard Practice di Nigeria atau SANGOCO Code of Ethics for NGOs di Afrika Selatan.

Dengan latar belakang LSM Indonesia saat ini yang cenderung ingin bebas dari pengaturan pemerintah maka bukan pengaturan dari pemerintah yang dibutuhkan, namun adalah kemauan dan kemampuan untuk mengatur diri sendiri (self regulation) guna mewujudkan LSM yang transparan dan akuntabel. Jalan yang harus ditempuh tentu saja melalui sebuah konsensus kolektif sesama LSM. Membentuk jaringan bersama (bukan LSM baru) untuk aksi ini mungkin adalah pilihan yang tepat sehingga gerakan transparansi dan akuntabilitas tidak parsial dan memiliki legitimasi yang kuat.

Kelemahan LSM di Indonesia dalam mewujudkan transparansi dan akuntabilitas sangat mungkin juga dipengaruhi oleh lemahnya kapasitas dan kemampuan, walaupun kemauan untuk itu ada. Maka dari itu, di dalam jaringan bersama harus ada ruang untuk proses saling belajar dan penguatan melalui peningkatkan kapasitas untuk mereduksi kekurangan dan kelemahan selama ini. Dibuat aturan bersama secara pertisipatif hingga pada ketegasan reward and punishment, bukan “menodong” LSM dengan tiba-tiba mengajukan kode etik. Selain itu harus beroperasi independent dan lepas dari conflict interest dan kepentingan politik praktis pemerintah serta tidak menjadi lembaga yang superior bagi LSM-LSM lainnya.

Apabila hal diatas bisa diwujudkan, tentunya tidak ada lagi LSM yang tidak akuntabel dan tidak transparan, setidaknya berkurang dalam jumlah. Tidak ditemui lagi LSM yang bicara anti korupsi tapi belakang layar ikut melakukan korupsi seperti kata istilah “maling teriak maling”. Kehadiran “jaringan bersama” juga diharapkan bisa menjadi promotor dan pembawa perubahan yang lebih baik bagi LSM dalam membuktikan kamampuan dan kemauan untuk akuntabel dan transparan dalam ruang lingkup yang lebih. Jangan sampai hendaknya maling berteriak maling lalu didatangi maling-maling lainnya yang berseragam polisi. Apabila seperti ini yang terjadi maka marilah kita sepakat menyebut LSM sebagai keranjang sampah!.

[+/-] Read More...

Monday, November 24, 2008

Mengintip Gaji Pekerja NGO di Aceh

Oleh Murizal Hamzah

BANDA ACEH—“Anak saya kerja di NGO. Sebulan dia dapat Rp 8 juta. Istrinya juga di NGO sekitar Rp 6 juta per bulan,” ungkap seorang bapak kepada SH dalam sebuah acara resepsi pernikahan di Banda Aceh tahun lalu. Entah mengapa, tanpa diminta sang bapak dengan bangga mengumumkan gaji anaknya yang bekerja di NGO internasional.
Semua itu terjadi usai bencana alam tsunami 26 Desember 2004 di Aceh yang disusul dengan membludaknya ratusan NGO (Non Governmental Organization atau di Indonesia disebut Lembaga Swadaya Masyarakat/LSM) baik yang bersifat internasional maupun nasional ke Bumi Serambi Mekkah.
Perubahan pola pikir pun terjadi. Pindah kerja antar-LSM nasional dan internasional menjadi lumrah. Tawar-menawar gaji dan fasilitas menjadi daya tarik pekerja profesional.
“Di BRR (Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh-Nias—red) saya ditawar Rp 11 juta per bulan. Namun saya tolak karena ada yang tidak punya gelar sarjana bisa Rp 15 juta, padahal saya punya pengalaman kerja dan gelar S2,” ungkap Amir (33)—nama samaran—yang mewanti-wanti agar SH tidak menulis nama sebenarnya.

Amir, mantan wartawan terbitan Jakarta ini, tetap bertahan bekerja di NGO asal Amerika Serikat di Banda Aceh. Korban tsunami yang mahir bahasa Inggris ini menolak menyebutkan gajinya kini. “Di tempat saya, gaji paling rendah sekitar Rp 5 juta, itu untuk sekretaris,” katanya singkat.
Lain lagi dengan Husni Arifin (29) yang cas cis cus bahasa Inggris sejak kuliah di IAIN Ar-Raniry Banda Aceh. Tamat kuliah, pria ini melamar menjadi penerjemah pada tim Pemantau Perdamaian Aceh yang ditandatangani di Jenewa pada 9 Desember 2002.
Berapa honor penerjemah sebelum tsunami? Tanpa malu-malu dia menyebutkan angka 3 yang berarti Rp 3 juta per bulan. Sebuah angka yang besar ketika itu. Pascatsunami, kembali Husni melamar menjadi penerjemah pada anggota Misi Pemantau Perdamaian Aceh alias Aceh Monitoring Mission (AMM). “Kali ini Rp 7 juta per bulan,” jelasnya terus terang.
Naik-turun gaji dirasakan betul oleh Husni. Setelah AMM angkat kaki dari Aceh, Husni menjadi penerjemah pada Tim Pemantau Pilkada Uni Eropa. Kali ini, gajinya melorot menjadi Rp 3 juta dan itu pun hanya dicicipi sebulan.
Pasalnya, Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam hanya berlangsung satu putaran. “Kerja di NGO ada batasnya. Tahun 2009, NGO-NGO akan say good bye. Sekarang saya ingin kuliah di luar negeri,” kata Husni yang kini rajin mencari beasiswa lewat internet.

Standar Gaji
Berapa gaji pekerja NGO di Aceh? Tidak ada yang baku karena ini berkaitan dengan pengalaman kerja, pendidikan, asal penempatan, dan sejarah gaji yang pernah diterima, serta kondisi NGO itu sendiri. Namun pada umumnya, gaji bagi warga Indonesia rata-rata di atas Rp 2 juta per bulan.
Pada 2005, gaji di NGO internasional ada yang mencapai Rp 100.000 per hari. Sebaliknya, pekerja NGO lokal baik yang sudah berdiri sebelum maupun pascatsunami, ada yang masih menerima Rp 1,5 juta. Hal ini memang sudah cukup jika dibandingkan dengan Upah Minimal Regional (UMR) Aceh yang berkisar Rp 850.000.
Sebut saja Alamsyah (27), yang sebelum tsunami menjadi sopir minibus dengan penghasilan per bulan Rp 1,5 juta dengan jam kerja lebih dari delapan jam per hari.
Kini dia tidak lagi melayani trayek sewa Banda Aceh-Lhokseumawe. “Sekarang saya driver di NGO. Kerja lebih ringan, mobil ber-AC dan ada overtime,” ungkap Alamsyah yang mulai akrab dengan bahasa Inggris.
Kemampuan bahasa Inggris, pengalaman kerja, dan profesionalisme menjadi andalan dalam tawar-menawar gaji. Seorang pekerja Aceh lulusan Inggris yang bekerja di NGO internasional bergaji US$ 4.000. Gaji di atas Rp 30 juta per bulan biasanya diperoleh staf Indonesia yang bekerja di lembaga Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB).
Selebihnya, pekerja Indonesia berstatus staf yang diterima di Aceh atau diterima di Jakarta namun ditempatkan di Aceh, mendapat fulus Rp 15 juta-Rp 30 juta per bulan plus fasilitas asuransi kesehatan, tiket pesawat PP Banda Aceh-Jakarta enam bulan sekali, serta cuti enam hari. “Di tingkat pengambil kebijakan tetap dipegang oleh orang asing atau orang dari Jakarta. Orang lokal lebih berperan sebagai pekerja,” tambah Nina yang bekerja di NGO internasional dengan penghasilan Rp 5 juta per bulan.
Tidak ada NGO yang mengumumkan gaji stafnya dalam arti kata take home pay, kecuali BRR Aceh-Nias. Rekan SH yang kini bekerja di BRR meminta penulis mencarikan sekretaris. Syaratnya diprioritaskan korban tsunami dan berpenampilan menarik.
“Gajinya minimal Rp 5 juta. Tolong dicarikan ya, sebelum dibawa rombongan dari Jawa,” pinta orang yang kini menjabat manajer di BRR kepada SH akhir tahun 2006.
Lompatan penghasilan luar biasa usai tsunami memang meledak di Aceh. Apakah ini yang dinamakan bencana membawa berkah? Sebut saja rekan penulis itu, yang sebelum tsunami berprofesi jurnalis di Aceh dengan gaji maksimal Rp 7 juta per bulan. Namun kini paling sedikit dia bisa menambah kocek Rp 30 juta per bulan dari kas BRR.
Untuk level direktur BRR sekitar Rp 40 juta/bulan, sekretaris atau deputi Rp 50 juta, wakil kepala Rp 55 juta, dan Kepala BRR Kuntoro Mangkusubroto Rp 65 juta/bulan. Tentu saja untuk sekelas Kuntoro yang selevel dengan menteri, gaji Rp 65 juta ini masih kurang jika Mr. K (sebutan oleh pekerja asing kepada Kuntoro) mau bekerja di luar negeri atau lembaga internasional.
Berapa pun gaji yang diterima, tugas BRR mesti berjalan. Tidak ada lagi korban tsunami yang tinggal di barak pengungsian hingga tahun 2009. Sebab bagaimana pun, gaji yang diterima pekerja NGO baik Indonesia maupun asing di Aceh, karena ada 200.000 jiwa warga yang meninggal dunia ataupun hilang diseret gelombang mahadahsyat tsunami.
Sumber: Sinar Harapan

[+/-] Read More...

Sunday, November 23, 2008

Working Paper: Akuntabilitas Lembaga Swadaya Masyarakat: Beberapa Observasi

Sumber: Interseksi
Oleh: Ridwan al-Makassary
--------------------
Pengantar
Lembaga Swadaya Masyarakat (selanjutnya disingkat LSM) sedang menuai kritikan tajam. Selama tiga hari, harian Kompas (16 April, 18 April dan 19 April 2007) menurunkan liputannya mengenai akuntabilitas Lebaga Swadaya Masyarakat. Bermula dari sebuah diskusi publik bertema ”Perlunya Mengaudit Agenda dan Sumber Dana Asing terhadap LSM yang merugikan Rakyat, Bangsa dan Negara” di Jakarta (14 April 2007), akuntabilitas LSM digugat. Beberapa poin yang mengedepan dalam diskusi tersebut adalah perlunya mengontrol LSM dengan audit publik dan membuat peraturan setingkat Undang-Undang untuk mengatur tentang LSM sebagai pilar civil society. Ada juga polemik mengenai perlunya LSM membuka laporan keuangannya kepada publik jika memperoleh dana donor luar negeri. Selain itu, ada konstatasi bahwa partai politik lebih akuntabel dan transparan dari LSM. Bahkan, ada yang secara sarkastik menuding beberapa LSM hanya bermodalkan kliping koran, dll.

Berdasar pada liputan Kompas tersebut, penulis mencoba mendiskusikan gagasan dan praktik akuntabilitas LSM di Indonesia secara lebih berimbang. Bagian awal akan menjelaskan kerangka konseptual tentang transparansi dan akuntabilitas bagi LSM. Selanjutnya, akan mendeskripsikan sejarah pertumbuhan LSM di Indonesia, dan juga penyimpangan-penyimpangan aktivisme LSM. Bagian akhir akan menjelaskan model ideal akuntabilitas LSM.

Kerangka konseptual: Transparansi dan Akuntabilitas
Akuntabilitas, yang sering dipahami sebagai akuntabilitas demokratis, berakar di dalam pengetahuan, dan sebuah pemahaman terhadap kedua prinsip dasar demokrasi, yaitu, ajaran mengenai mayoritas dan pemerintahan oleh rakyat. Akuntabilitas berarti kewajiban dasar bagi sebuah badan (negara, bisnis, LSM) untuk memerhatikan masyarakat atau pemegang saham untuk mengetahui berbagai kegiatan dan prestasi mereka. Prinsip ini mejamin masyarakat untuk mengetahui siapa dan bagaimana keputusan sebuah badan ditetapkan dan alasan yang mendasarinya. Pada saat yang sama, prinsip transparansi merujuk pada sikap terbuka sebuah badan kepada masyarakat guna mendapatkan akses informasi yang benar, jujur dan adil, seraya tetap melindungi hak-hak dasar dan kerahasiaan sebuah badan yang bekerja.[1]

Karenanya, akuntabilitas tidak saja terkait dengan pelaporan keuangan, melainkan juga persoalan legitimasi. Karenanya, untuk mengukur derajat akuntabilitas LSM tidak cukup menyoroti persoalan teknis, seperti keuangan dan program, tetapi juga partisipasi, konsultasi dan proses demokratisasi internal LSM.[2]

Menurut Rustam Ibrahim, akuntabilitas LSM adalah proses yang menempatkan LSM bertanggung jawab secara terbuka atas apa yang diyakininya, apa yang dilakukan dan tidak dilakukannya kepada stake holder (kelompok sasaran, lembaga donor, sesama Ornop, pemerintah dan masyarakat luas). Akuntabilitas diwujudkan dalam bentuk pelaporan (reporting), pelibatan (involving) dan cepat tanggap (responding). Singkatnya, pelaporannya dengan cara transparan.[3]

Transparansi mengandung arti adanya keterbukaan dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Artinya, setiap aktivitas selalu bisa dibuktikan melalui data yang kuat, sah, dan akurat. Sedangkan akuntabilitas merupakan manifestasi rasa tanggung jawab yang menuntut pelaksanaan tugas yang telah diamanahkan dilaksanakan secara bertanggung jawab. Singkatnya, konsep yang terakhir sejalan dengan efisiensi dan efektifitas.[4]

Sejarah Pertumbuhan Masyarakat Sipil: Sebuah Overview
Gagasan civil society menguat pada dua dasawarsa terakhir, terutama sejak berhembusnya angin perubahan dan menguatnya gelombang demokratisasi dari daratan Amerika Latin dan Eropa Timur, yang menyapu berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Civil society, pada dasarnya, memiliki motivasi dasar untuk merestriksi absolutisme kekuasaan, meningkatkan kapasitas komunitas, mengurangi derajat negatif ekonomi pasar, dan menuntut akuntabilitas politik serta menaikkan mutu dan sifat inklusif dari tata kelola pemerintahan (good governance).[5]

Karenanya, intisari civil society adalah visi etik terhadap tatanan kehidupan sosial yang bertolak dari dua perspektif. Perspektif pertama, terbangun dari tradisi berpikir marxist, yang menekankan basis ide civil society berdasar pada ketegangan (tensions) antara perkembangan masyarakat dengan kenyataan yang diperhadapkan oleh negara. Tradisi ini berpandangan masyarakat sebagai sebuah entitas yang mampu mengatur dirinya sendiri dan memiliki hak dan kebebasan. Keadaan ini membutuhkan perlindungan dari represi negara. Perspektif kedua, memandang civil society sebagai sebuah tipe ideal di mana organisasi sosial berdiri sendiri dan merupakan institusi sukarela (voluntary association) serta bebas dari interferensi negara. Keberadaan civil society merupakan entitas yang berhadapan dengan negara dan sektor swasta.[6]

Kedua pandangan tersebut sejatinya memiliki muara yang sama, yaitu civil society dapat mengembangkan masyarakat yang lebih demokratis, menjunjung tinggi kemanusiaan (humanity) dan merealisasikan keadilan sosial (social justice). Dengan demikian, pentingnya civil society merupakan agenda masyarakat dunia sejak perang dingin (Cold War) berakhir sudah. Bahkan, terpatri keyakinan bahwa negara akan lebih demokratis jika civil society berkembang.

Tidak ada definisi yang tunggal mengenai civil society. AS Hikam secara eklektik mendefinisikan civil society sebagai wilayah kehidupan sosial yang terorganisir dan bercirikan antara lain kesukarelaan, keswasembadaan dan keswadayaan. Kemandirian yang tinggi menghadapi negara dan keterikatan dengan norma atau nilai hukum yang diipanuti oleh warganya.[7]

Sebagai ruang politik, civil society merupakan arena yang dapat menjamin terselenggaranya perilaku, tindakan dan refleksi mandiri, yang tidak terkungkung oleh kondisi material, dan juga tidak terserap ke dalam jaringan kelembagaan politik resmi. Berpegang pada penilaian seperti ini, maka civil society mengejawantah ke dalam pelbagai organisasi/asosiasi yang dibentuk oleh masyarakat di luar pengaruh negara. Karenanya, Organisasi non pemerintah (ornop), organisasi sosial dan keagamaan, paguyuban, dan juga kelompok kepentingan merupakan penjelmaan kelembagaan civil society.

Gerakan ornop, atau lebih populer dengan LSM di Indonesia, pada dasarnya juga terbentuk sebagai pengimbang dominasi negara dalam proses rancang bangun pembangunan. Trend demikian sudah jamak terjadi di berbagai belahan dunia, baik di Utara (negara-negara maju) maupun di Selatan (negara-negara berkembang). Namun, di negara maju LSM sudah memainkan agensinya dalam menetapkan kebijakan publik, oleh karena budaya demokrasi sudah maju, SDM yang mumpuni dan kemampuan finansial yang tersedia. Sedangkan di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, LSM masih berjuang sebagai mitra pemerintah dalam proses pembanguan.

Sejarah keterlibatan LSM di Indonesia sudah bermula sejak tahun 1950-an. Namun, peran dan aktivitas yang dijalankan secara umum masih berkutat pada upaya-upaya karitatif, terutama menanggulangi kelaparan. Jadi, keberadaannya lebih sebagai “sinterklas”. Priode ini berlangsung hingga tahun 1960-an. Menurut penulis, meskipun masa sudah berubah, dewasa ini kita masih menemukan LSM yang lebih berfungsi sebagai sinterklas.

Tahun 1966 hingga 1970-an adalah formative years pertumbuhan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang berjuang untuk keluar dari formasi sinterklas. LSM masa ini mulai mengembangkan sikap kritis terhadap kehidupan sosial kemasyarakatan.Terdapat tiga argumen yang mendasari perkembangan ini. Pertama, munculnya inisiatif kalangan non-pemerintah untuk mendirikan organisasi-organisasi non-pemerintah berbasis komunitas. Beberapa organisasi non-pemerintah seperti LP3ES didirikan atas prakarsa tokoh-tokoh muda dari kalangan sipil. Kedua, pada fase ini mulai terjalin kontak yang intensif antara LSM lokal dan internasional sekaligus menandai dimulainya kerjasama dan pengembangan jaringan (networking) dengan mitra-mitra kerja di luar negeri. Ketiga, pemerintah mulai menyediakan perangkat hukum sebagai aturan main lembaga-lembaga non-pemerintah tersebut.[8]

Namun, fase ini ditandai dengan local resources yang terbatas. Kalangan LSM lebih banyak bergantung pada sumber-sumber pendanaan internasional, semisal USAID, The Ford Foundation, The Asia Foundation, Toyota Foundation, FNS, NOVIB dll. LSM juga menerima bantuan dana dari lembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia dan Asian Development Bank. Selain berbentuk hibah (grant), dana yang diterima dari sumber terakhir ini sebagian bersifat utang negara.[9]

Sejak tahun 1970-an, kalangan LSM benar-benar menikmati “surga” aliran dana tersebut dengan mudah (easy money). Karenanya, mereka sering dituding menjadi perpanjangan tangan donor asing. Bahkan, ada asumsi bahwa LSM-LSM tersebut bekerja untuk mendukung agenda donor asing ketimbang menunaikan kepentingan domestik. LSM menjual kemiskinan, menjual negara, agen-agen kapitalis adalah di antara aneka tuduhan dari pihak pemerintah atau pihak-pihak yang merasa gerah dengan agenda LSM. Situasi ini tidak jarang merepotkan para aktivis LSM, terutama dalam menegosiasikan agenda-agenda sosial politik yang diperjuangkannya. Kesulitannya adalah bagaimana LSM meyakinkan pihak dalam negeri bahwa agenda mereka bebas dari campur tangan pihak asing.[10]

Di sini tidak ingin dikembangkan suatu perspektif bahwa kerjasama dengan pihak asing merupakan barang haram. Karena dalam dunia yang menglobal hubungan dan kerjasama dengan negara-negara sahabat di Barat sungguh tak terelakkan. Apalagi bila hubungan tersebut berlandaskan komitmen untuk menata dunia yang lebih adil, damai dan sejahtera. Ini juga mengingat sumberdana domestik tidak mencukupi untuk membiayai agenda-agenda pembangunan. Memperoleh dana pemerintah dalam jumlah besar sulit terwujud karena anggaran pemerintah yang terbatas. Selain itu, dana seperti ini beresiko mengkooptasi kemandirian LSM dalam mengadvokasi kebijakan publik.

Sementara itu, penggalangan dana dari perusahaan dalam negeri, atau lebih dikenal dengan istilah corporate social responsibility (CSR), juga problematik mengingat sebagian besar sektor swasta di Indonesia menyumbang kontribusi besar dalam mencipta problematika sosial serta merusak lingkungan alam. Pada masa Orde Baru, kalangan swasta, terutama perusahaan besar, seringkali bersekongkol dengan penguasa untuk menguras kekayaan alam serta memanfaatkan akses-akses ekonomi politik secara privilage demi kepentingan bisnis mereka. Salah satu ulah perusahaan besar adalah mengeksploitasi sumberdaya alam dan ekonomi secara illegal dan membabi buta sehingga menyebabkan Indonesia terjebak dalam krisis sosial dan kerusakan alam yang sangat parah. Demikianlah beberapa alasan mengapa organisasi non-pemerintah tidak tertarik menggalang dana dari sektor swasta.[11]

Pada pungkasan 1970-an hingga 1990-an, minyak bumi andalan Indonesia mengalami kerugian dan membumbungnya utang luar negeri yang sangat memprihatinkan tanah air. Bersamaan dengan itu, rejim Orde Baru yang otoriter membuat isu-isu dunia seperti lingkungan hidup, demokratisasi, gender dan HAM kuat berkumandang ke pelbagai sudut-sudut kehidupan. Dalam konteks ini, terjadi mushroomingLSM yang karakternya bertujuan melakukan transformasi sosial. Fase ini juga masih mengandalkan bantuan donor asing, yang mengakibatkan LSM menuai tudingan yang tidak sedap seperti telah disinggung di atas.

Salah satu problem yang menghinggapi LSM dewasa ini adalah keberlanjutan finansial (financial sustainability). Tidak saja berbagai LSM kecil yang menghayati kesulitan ekonomi, bahkan beberapa di antaranya berguguran, tetapi juga beberapa LSM besar yang diterpa kesulitan finansial mengalami kesulitan meneruskan agendanya. Misalnya, kita pernah dikejutkan dengan berita akan tutupnya Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) akibat kekurangan finansial. Kondisi itu tercipta setelah beberapa lembaga donor menghentikan aliran dananya. Di sini tidak akan dibahas kenapa dana asing itu distop, karena keterbatasan ruang.

Hasil penelitian Rustam Ibrahim pada tahun 2005 dengan mengambil sampel 25 organisasi, meskipun tidak semua sampel itu tergolong LSM, karena sebagiannya adalah OSMS, menjustifikasi fenomena itu. Mayoritas responden mengandalkan bantuan luar negeri yang mencapai 65 %, dan sumber dalam negeri 35 %.[12]

Sementara itu, beberapa tahun terakhir ada kecenderungan berkurangnya dana hibah akibat situasi dunia yang berubah sehingga ikut mengubah prioritas dan kebijakan lembaga donor. Saya pernah mendengar bahwa beberapa donor besar, seperti Ford Foundation mulai mengalihkan perhatiannya dari Indonesia secara perlahan, dan mendorong penggalangan local resources. Akibatnya, berbagai upaya untuk sintas (survive) sedang dan telah dilakukan oleh LSM dengan menggali local resources yang tersedia, baik dengan menggalang dana secara masif dari masyarakat maupun melalui unit-unit usaha yang digiatkan LSM.

Sejak pungkasan tahun 2000-an, terbit fenomena filantropi (kedermawanan) yang luar biasa di kalangan masyarakat. Pada saat negara mengalami kegagalan mensejahterakan warganya, ketika bencana alam datang bertalu-talu, animo masyarakat untuk berfilantropi atau berderma sangat kuat. Sayangnya, filantropi untuk tujuan-tujuan publik atau juga kepada LSM sangat terbatas.[13] Bahkan, beberapa Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang banyak meraup dana publik enggan untuk bermitra dengan LSM dalam menyalurkan filantropi untuk keadilan sosial.[14]

Penyimpangan-Penyimpangan Aktivisme LSM
Keberadaan LSM sebagai motor penggerak masyarakat sipil sering dimaknai negatif akibat perilaku beberapa LSM atau pengurus LSM itu sendiri. Kastorius Sinaga mencotohkan penggelapan dana JPS yang melibatkan sejumlah LSM tahun 2000; dugaan penyimpangan dana banjir oleh ICE on Indonesia tahun 2002; tuduhan kolusi antara PLN dengan salah seorang pengurus YLKI tahun 2001 telah mencoreng wajah LSM.[15]

Hasil observasi LP3ES beberapa waktu lalu di delapan Propinsi menunjukkan berbagai penyimpangan LSM. Paling tidak ada empat bentuk aktivisme LSM menyimpang ini. Pertama, LSM yang memiliki tautan yang kuat dengan lingkar kekuasaan, terutama dalam aktivitas dukung mendukung calon pejabat di berbagai level. Kedua, LSM yang sengaja dibentuk untuk memperebutkan atau menampung proyek pemerintah (daerah). Kehadiran LSM ini untuk menyahuti peluang kebijakan berbagai negara-negara donor yang mensyaratkan peran serta masyarakat dalam proyek pembangunan. Umumnya LSM ini dibentuk atau melibatkan pegawai Pemda setempat bersama kroninya. Ketiga, LSM yang bertujuan untuk meraih keuntungan ekonomi dengan berkedok LSM yang melakukan kegiatan investigasi, mengkritik dengan pendekatan wachtdog, namun ujung-ujungnya transaksi money politics digelar dibelakang layar. Keempat, ada kelompok yang mengidentikkan diri sebagai LSM, yang justru mengabsahkan tindak kekerasan dan anarkhi.[16]

Model Ideal Akuntabilitas Lembaga Swadaya Masyarakat
Memang harus diakui beberapa perilaku nakal LSM pada akhirnya hanya membuat bopeng wajah LSM secara umum. Namun, di sini pentingnya untuk tidak menggeneralisasi atau gebyah uyah bahwa semua LSM tidak akuntabel.

Implementasi akuntabilis LSM memang problematik di kalangan LSM. Menurut Greg Rooney, Civil Society Program Advisor ACCES, sedikit sekali perhatian yang didedikasikan untuk membentuk organisasi yang memiliki akuntabilitas dihadapan konstituennya. Bahkan, tidak banyak organisasi nirlaba yang berupaya meningkatkan prosedur operasional (baik SOP dan AD/ART) yang mengatur organisasinya. Bahkan, ada resistensi sejumlah LSM terutama yang menerima hibah donor asing untuk tidak melaporkan keuangannya secara transparan.[17]

Akuntabilitas LSM memang lebih ditujukan kepada donor secara langsung dengan cara membuat laporan akhir dan laporan keuangan. Donor tersebut yang akan melaporkan kepada publik. Namun, jika memperoleh dari pemerintah, maka LSM wajib melaporkannya kepada masyarakat. Sejauh ini beberapa LSM juga telah melaporkan kegiatan dan keuangannya kepada donor dan kepada publik. Ada yang membuat laporan tahunannya secara reguler dan bisa diakses publik. Jadi, tidak benar sama sekali bahwa tidak ada akuntabilitas LSM. Sebab jika itu benar, maka para donor juga enggan menggelontorkan dana hibahnya. Yayasan Interseksi, misalnya, mengembangkan akuntabilitas publik dengan cara mempublikasikan program risetnya melalui buku yang dapat dibeli di toko-toko buku. Bahkan, serpihan-sepihan sebuah program yang berjalan diberi ruang untuk dimuat di website. Ini juga mungkin suatu cara untuk menegaskan bahwa LSM bukanlah sarang “penyamun”, yang hanya sibuk mengkliping koran. Dalam kasus Interseksi, publikasinya menerima resepsi yang meriah. Misalnya buku Hak Minoritas Dilema Multikulturalisme di Indonesia, yang notabene hasil riset atas bantuan Yayasan Tifa, menjadi bahan ajar di Universitas Indonesia dan Universitas Gadjah Mada.

Beberapa tahun terakhir, LSM telah mulai melirik pemberlakuan kode etik dan akreditasi/sertifikasi. Aplikasi kode etik atau akreditasi bagi LSM akan ideal jika terbangun secara orisinil dari kalangan LSM sendiri, dan tidak harus bersifat monolitik. Apalagi jika diatur dengan perangkat hukum untuk membungkam LSM, yang selama ini dikenal kritis terhadap pemerintah dan pro aktif mengadvokasi masyarakat terpinggirkan. Tolok ukur yang seragam dan elitis harus dijauhi dan juga tidak mudah dicapai. Beberapa LSM sudah mengembangkan akuntabilitasnya. Upaya yang tengah digiatkan oleh KPMM di Padang dan Sawarung di Bandung, contohnya, sangat penting untuk disokong secara kolektif. Demikian juga, eksprimentasi LP3ES dalam merumuskan formula Kode Etik LSM di tingkat regional dan nasional harus juga didukung.

Sebagai kesimpulan singkat, mari kita bersikap adil terhadap LSM. Jangan memojokkan LSM hanya sebagai kedok untuk menutupi bopeng wajah sendiri atau manifestasi dari vested interest.

[1]Lusi Herlina, “Pengembangan Transparansi dan Akuntabilitas di KPMM, Sumbar”, dalam Hamid Abidin dan Mimin Rukmini (ed), Kritik dan Otokritik LSM: Membongkar Kejujuran dan Keterbukaan Lembaga Swadaya Masyarakat Indonesia, Jakarta: PIRAC, Ford Foundation dan Tifa, 2004, h. 197

[2]Zaim Saidi, “Lima Persoalan Mendasar dan Akuntabilitas LSM” dalam Hamid Abidin dan Mimin Rukmini (ed), Kritik dan Otokritik LSM: Membongkar Kejujuran dan Keterbukaan Lembaga Swadaya Masyarakat Indonesia, Jakarta: PIRAC, Ford Foundation dan Tifa, 2004, h. 39

[3]Rustam Ibrahim dikutip dalam Hamid Abidin, “Transparansi dan Akuntabilitas LSM: Problem dan Ikhtiar”, dalam Hamid Abidin dan Mimin Rukmini (ed), Kritik dan Otokritik LSM: Membongkar Kejujuran dan Keterbukaan Lembaga Swadaya Masyarakat Indonesia, Jakarta: PIRAC, Ford Foundation dan Tifa, 2004, h.62.

[4]Andi Faisal Bakti, “Good Governance dalam Islam: Gagasan dan Pengalaman, dalam buku Islam Negara dan Civil Society Gerakan dan Pemikiran Islam Kontemporer, Jakarta: Paramadina, 2005, h. 332-334.

[5] Rustam Ibrahim Dkk. Governance dan Akuntabilitas LSM Indonesia. 2004.

[6] AS.Hikam. Civil Society. LP3ES.

[7] Ibid.

[8]Wawancara Ridwan al-Makassary dengan Andy Agung Prihatna, Peneliti LP3ES, di Jakarta awal Januari 2005. Wawancara ini ketika itu dilakukan untuk kepentingan penelitian riset ”Filantropi untuk Keadilan Sosial dalam Masyarakat Islam: Kasus Indonesia” CSRC UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

[9] Richard Holloway, Menuju Kemandirian Keuangan, Jakarta: Yayasan Obor, 2001

[10] Richard Holloway, Menuju Kemandirian Keuangan, Jakarta: Yayasan Obor, 2001, h. 17-18.

[11]Lihat, buku Sumbangan Sosial Perusahaan (penyunting Zaim Saidi dkk), Jakarta: PIRAC, 2003, h 23-24..

[12]Hamid Abidin, “Transparansi dan Akuntabilitas LSM: Problem dan Ikhtiar”, dalam Hamid Abidin dan Mimin Rukmini (ed), Kritik dan Otokritik LSM: Membongkar Kejujuran dan Keterbukaan Lembaga Swadaya Masyarakat Indonesia, Jakarta: PIRAC, Ford Foundation dan Tifa, 2004, h. 66.

[13]Ridwan al-Makassary, “Pengarusutamaan Filantropi Islam untuk Keadilan Sosial di Indonesia: Proyek yang Belum Selesai” dalam Jurnal Galang, vol 1, No.3, April 2006, h. 38-49. Lihat juga buku-buku Filantropi yang diterbitkan oleh CSRC UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan PIRAC. Keduanya beberapa tahun terakhir menggalakkan studi Filantropi untuk Keadilan Sosial (Philanthropy for Social Justice).

[14]Adi Chandra Utama, “Menyambung yang Terputus (Model Bagi Optimalisasi Potensi Kedermawanan Menuju Keadilan Sosial” dalam Jurnal Galang, vol 1, No.3, April 2006, h.5-21.

[15]Kastorius Sinaga, “Melembagakan Transparansi dan Kontrol LSM di Indonesia” dalam Hamid Abidin dan Mimin Rukmini (ed), Kritik dan Otokritik LSM: Membongkar Kejujuran dan Keterbukaan Lembaga Swadaya Masyarakat Indonesia, Jakarta: PIRAC, Ford Foundation dan Tifa, 2004, h. 85

[16]Zaim Saidi, “Lima Persoalan Mendasar dan Akuntabilitas LSM” dalam Hamid Abidin dan Mimin Rukmini (ed), Kritik dan Otokritik LSM: Membongkar Kejujuran dan Keterbukaan Lembaga Swadaya Masyarakat Indonesia, Jakarta: PIRAC, Ford Foundation dan Tifa, 2004, h. 39

[17]Hamid Abidin, “Transparansi dan Akuntabilitas LSM: Problem dan Ikhtiar”, dalam Hamid Abidin dan Mimin Rukmini (ed), Kritik dan Otokritik LSM: Membongkar Kejujuran dan Keterbukaan Lembaga Swadaya Masyarakat Indonesia, Jakarta: PIRAC, Ford Foundation dan Tifa, 2004, h. 62.

[+/-] Read More...

Tuntutan Akuntabilitas LSM, Isu yang Berulang

Sumber: KOMPAS, Edisi 24 April 2007
Penulis: M Hernowo

Pada 14 April lalu, lembaga swadaya masyarakat Abdi Lestari Nusa menggelar seminar nasional di Jakarta. Acara itu mengambil tema “Perlunya Mengaudit Sumber Dana Asing dan Agenda Kegiatan terhadap LSM yang Merugikan Rakyat, Bangsa, dan Negara RI”.

Praktisi hukum Elza Syarief, salah satu pembicara dalam acara ini menuturkan, audit terhadap LSM diperlukan sebagai salah satu cara untuk mengontrol dan meningkatkan akuntabilitas lembaga itu. Sebab menurut dia, ada LSM yang kerjanya hanya mengumpulkan kliping koran untuk kemudian dilaporkan sebagai hasil kerja ke lembaga donor. Audit terhadap LSM juga dibutuhkan karena ada dugaan lembaga donor memiliki kepentingan atas dana yang mereka berikan.

Praktisi hukum Chandra Motik Yusuf, pembicara lain, bahkan mengusulkan adanya kewenangan bagi pemerintah untuk memeriksa dan mengatur penyandang dana LSM. Sebab ada LSM yang diduga telah merugikan citra Indonesia.

Di tengah maraknya kemunculan berbagai LSM pada era reformasi, pembicaraan tentang akuntabilitas lembaga itu sebenarnya bukan hal baru. Apalagi ketika disinyalir ada LSM yang dibentuk hanya untuk mencari keuntungan bagi pengurusnya atau mengamankan posisi sejumlah pejabat pemerintah. LSM yang terakhir ini biasa disebut sebagai “LSM pelat merah”.

Kasus dugaan LSM pelat merah, misalnya, pernah muncul dalam perkara korupsi Bupati Kepulauan Riau Huzrin Hood. Dalam persidangan terungkap, ada 25 LSM yang menerima bantuan senilai Rp 2,1 miliar yang diambil dari APBD Kepri 2001-2002. Namun, Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat Kabupaten Kepri Norbet Johan mengaku, 25 LSM itu tidak terdaftar di pemerintahan kabupaten setempat (Kompas, 12 Juli 2003).

Untuk menciptakan akuntabilitas LSM ini, Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) pada tahun 2002 berinisiatif menyusun kode etik dan membuat asosiasi khusus bagi LSM yang bergerak di bidang pengembangan sosial dan ekonomi.

Kode etik yang ditandatangani 252 LSM itu, antara lain menyatakan, LSM tidak didirikan untuk mencari keuntungan, namun mengabdi kepada umat manusia dan kemanusiaan. Semua informasi yang berkaitan dengan misi, keanggotaan, kegiatan, dan pendanaan LSM, pada dasarnya bersifat publik hingga terbuka bagi masyarakat. LSM juga akan memakai standar pembukuan dan pelaporan keuangan sesuai dengan standar akuntansi yang berlaku umum.

Romanus Ndau Lendong, Program Manajer Yayasan Visi Anak Bangsa mensinyalir, munculnya isu akuntabilitas LSM belakangan ini bukan terutama karena banyaknya LSM pelat merah, melainkan lebih karena kegelisahan sejumlah pihak terhadap LSM yang selama ini cukup kritis kepada pemerintah. Apalagi dalam isu itu sempat muncul ungkapan adanya LSM yang telah mencemarkan Indonesia di mata internasional. “Jika benar, isu itu terutama akan dipakai untuk membatasi gerak LSM yang selama ini aktif di bidang pembelaan hak asasi manusia,” kata dia.

Sosiolog Kastorius Sinaga yang menulis disertasi NGO’s in Indonesia A Study of The Role of Non Governmental Organizations in the Development Process (1995) menyetujui adanya ketegangan yang mewarnai dinamika LSM.

Pada era Orde Baru terjadi ketegangan antara negara dan LSM karena pada waktu itu LSM berada pada posisi untuk beroposisi dengan negara. Itu bisa dilihat dari serangkaian ketegangan dan latar politik yang melingkupinya.

Sedangkan pada era reformasi, menurut Kastorius, ketegangan sedikit bergeser, yakni ketegangan di dalam LSM itu sendiri serta ketegangan di antara sesama LSM. “Klaim kepentingan publik dari LSM selalu dipertanyakan, kepentingan publik yang mana,” ujar Kastorius.

Ia mengamati banyaknya persepsi masyarakat tentang LSM seiring makin terbukanya ruang politik. Ada LSM yang memberi kesan sebagai instrumen politik satu pihak untuk menghantam pihak lain, ada LSM yang ditempatkan sebagai organisasi sayap partai politik, tapi ada juga LSM yang khusus bergerak sebagai pelindung pejabat. “Kita bisa lihat bagaimana preman, pengusaha, politikus ikut mengendalikan LSM,” ujarnya.

Beragamnya konstruksi tentang LSM, menurut Kastorius, tak bisa dilepaskan dengan tiadanya definisi tentang LSM di Indonesia. “Apa sih LSM itu. Apakah semuanya yang dibentuk bukan oleh pemerintah dan tidak dibiayai pemerintah itu LSM. Sekarang ini LSM seperti keranjang sampah,” ucapnya.

Bagi dia, mendefinisikan apa itu LSM haruslah menjadi prioritas. Pendefinisian LSM bukan hanya semata-mata karya akademis, melainkan konsensus politik.

Latar politik

Ketegangan LSM dan negara pada era Orde Baru memang selalu mempunyai latar politik. Kegiatan LSM yang dianggap menjelek-jelekkan pemerintah dalam forum internasional selalu menjadi latar keinginan pemerintah Orde Baru untuk mengendalikan LSM.

Di pengujung Orde Baru, sejumlah LSM, bersama dengan ormas dan mahasiswa, telah disusupi paham komunis. Saat itu pemerintah menunjuk kambing hitam penyerbuan Kantor DPP PDI pro Megawati pada 27 Juli 1996, yaitu Partai Rakyat Demokratik sebagai contoh.

Jika sekarang isu tentang akuntabilitas LSM kembali muncul, lalu kira-kira apa yang menjadi latar belakangnya?

Sejumlah penggiat LSM menduga, kemunculan isu itu terkait dengan maraknya pembicaraan sejumlah kasus pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia. Misalnya Kerusuhan Mei 1997, Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II.

Bahkan, sebagian kasus itu sudah dibawa ke dunia internasional, misalnya kasus pembunuhan aktivis hak asasi manusia Munir yang terjadi 7 September 2004 dan penghilangan paksa aktivis pro demokrasi pada tahun 1997-1998.

Bahkan dalam Sidang Dewan HAM PBB 12-30 Maret lalu, pembunuhan Munir ini dibicarakan sejumlah pihak. Mereka adalah kelompok kerja penghilangan paksa, pelapor khusus PBB untuk pembunuhan di luar hukum, dan utusan khusus Sekjen PBB tentang perlindungan pembela HAM.

Sementara dalam laporan resminya tentang kasus Munir ke Dewan HAM PBB, Pelapor Khusus PBB Philips Alston menilai Pemerintah Indonesia menunjukkan sikap yang kooperatif namun tidak lengkap.

Internasionalisasi kasus-kasus itu tidak ubahnya seperti kerikil dalam sepatu bagi diplomasi Indonesia di dunia internasional. Apalagi jika benar negara ini berniat kembali mengikuti pemilihan anggota Dewan HAM PBB, yang akan dilakukan akhir bulan Mei mendatang.

“Jika dugaan ini benar, amat disayangkan. Sebab, internasionalisasi terpaksa dilakukan karena penyelesaian kasus-kasus itu di dalam negeri tidak lancar,” kata Koordinator Human Right Working Group Rafendi Djamin.

Usman Hamid dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan menambahkan, jika isu akuntabilitas LSM masih dipakai untuk menghadapi gerakan kritis masyarakat sipil, berarti pemerintah belum siap untuk melihat perubahan.

“Ketidaksiapan pemerintah itu sebenarnya sudah terlihat lewat sejumlah peraturan yang mereka usulkan. Misalnya Rancangan Undang-Undang (RUU) Rahasia Negara, RUU Keamanan Nasional, dan RUU Intelijen,” papar Hamid.

Jika ini benar terjadi, berarti reformasi memang baru menghasilkan dua hal, yaitu mengganti Presiden Soeharto dan mengubah UUD 1945. Sementara lainnya, masih sama seperti dahulu. (bdm)

[+/-] Read More...

LSM dan Lemahnya Akuntabilitas Mereka

Tulisan dibawah ini disadur dari blog i-fahmi. Ditulis oleh I-Fahmi Panimbang pada .
--------------------------
Leksikon LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) pada masa Orde Baru terdengar cukup ‘angker’, dalam arti bahwa siapapun yang bergiat di LSM ia harus siap dicap sebagai ‘musuh’ negara, dan karenanya berarti dianggap sebagai pejuang kepentingan rakyat. Entahlah, mungkin waktu itu nama LSM dan organisasi rakyat sering kali tak bisa dibedakan oleh masyarakat awam.

Meski citra tersebut saat ini telah mengalami pergeseran, tetap saja di kepala sebagian besar orang akan menganggap bahwa umumnya aktivis LSM adalah mereka yang bergiat membela dan mengadvokasi rakyat. Hanya saja masyarakat sekarang kian sadar bahwa tubuh LSM pun tak kebal penyelewengan.

Bagaimanakah LSM bisa muncul? Kepada siapakah mereka bertanggung jawab dan siapakah sebenarnya stakeholder mereka? Adakah pengaruh pihak luar dalam kerja-kerja mereka? Pertanyaan-pertanyaan di atas cukup mendasar, sehingga dibutuhkan jawaban yang tidak sederhana. Kerangka tulisan ini mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan mencoba memaparkan gambaran umum mengenai LSM, tentang peran mereka, juga mencoba memberikan penilaian atas mereka. Terutama, di sini ingin ditunjukkan bahwa LSM adalah institusi yang memiliki kuasa lunak, namun akuntabilitasnya amat lemah.

Kuasa Lunak LSM
Bagi Joseph S Nye, guru besar Kennedy School of Government Universitas Harvard, Amerika Serikat, dalam karyanya Soft Power: The Means to Success in World Politics (2004), aktor-aktor bukan negara seperti LSM memiliki kekuatan yang tak boleh dianggap remeh. Selain negara, LSM juga dapat berperan dalam politik kebijakan. Sebut saja lembaga-lembaga yang sudah cukup terkenal: Greenpeace (LSM lingkungan), Human Right Watch dan Amnesty International (lembaga pengawas pelanggaran hak-hak asasi manusia), Transparency International (lembaga pengawas korupsi). Daftar ini masih bisa dibuat amat panjang.

LSM-LSM serupa, seperti yang disebut di atas, memiliki kuasa mengontrol sekaligus menjadi pelaku yang efektif dalam membentuk opini dan atau pandangan tandingan versus negara. LSM juga dapat menjadi batu sandungan bagi korporasi yang melakukan praktik bisnis yang tidak etis. Tak ayal, seiring perkembangan teknologi informasi yang salah satu dampaknya kian memudahkan lahirnya LSM, pada 1990-an saja LSM tumbuh-berkecambah dari yang semula berjumlah hanya sekitar 6.000 hingga menjadi sekitar 26.000. Jumlah ini tentu baru yang tercatat secara formal.

Seperti dicatat oleh Nye (Project Syndicate, 2004), sejak 1992 penggunaan kata LSM meningkat tujuhbelas kali lipat. Selain Human Rights Watch, LSM lain seperti Transparency International, Oxfam, dan Doktor without Borders semakin kerap disebut-sebut oleh media arus utama, dan LSM-LSM ini ikut dalam percaturan politik yang mengimbangi kekuasaan negara.

Dengan ukuran ini, LSM-LSM besar seperti yang disebut di atas telah menjadi pemain tetap dalam perang mencuri perhatian para editor media terkemuka. Perlu disebutkan di sini bahwa negara seperti Amerika pun sempat terkena dampak dari kekuatan LSM ini ketika mereka memainkan perannya yang kunci dalam kekacauan pertemuan WTO tahun 1999 di Seattle. Amerika juga pernah sebelumnya menolak Konvensi Pengendalian Tembakau, tetapi segera menuai kritik internasional, salah satunya akibat kampanye yang dilakukan banyak LSM. Atas desakan masyarakat sipil yang tergabung dalam berbagai LSM, Perjanjian Landmines juga akhirnya tetap dibuat meski mendapat tentangan dari birokrasi paling kuat di Pentagon.

LSM memang sering kali mampu secara efektif berkampanye (named and shamed) menentang apa yang dianggap sebagai tidak adil, misalnya kepada perusahaan transnasional yang membayar murah upah buruhnya. Dalam bahasa Nye, LSM dapat melakukan itu semua karena mereka memiliki apa yang disebut kuasa lunak (soft power).

Nye mendefinisikan kuasa lunak sebagai “kemampuan menciptakan pilihan-pilihan bagi orang lain, yakni kemampuan memikat pihak lain agar rela memilih melakukan hal yang kita kehendaki tanpa kita memintanya” (Nye, 2004: 5). Kuasa yang dimiliki LSM bukan terutama karena mereka punya sumber daya uang yang banyak atau senjata yang canggih untuk dapat menekan dan memaksakan kepentingannya, melainkan karena keberadaan mereka sebagai bagian dari masyarakat sipil mampu menjadi penyeimbang kuasa negara dan korporasi. LSM tidak memiliki kuasa keras (hard power) yang cukup seperti halnya negara atau perusahaan-perusahaan besar, tetapi LSM cerdik menggunakan kuasa lunak (soft power) yang mereka dapatkan dari kepercayaan masyarakat. Buah dari kuasa lunak LSM ini dalam mengontrol kesewenang-wenangan korporasi dan negara sejauh ini relatif behasil, meski konflik kepentingan dan perilaku tak etis dalam tubuh LSM – karena relasinya dengan korporasi dan negara – dapat saja terjadi.

Kisah-kisah sukses mengenai aktivitas LSM yang cukup terkenal antara lain ialah pada 2003 ketika RD Shell mengumumkan bahwa perusahaan ini tidak akan lagi menambang pada titik-titik situs yang ditetapkan oleh UNESCO sebagai situs warisan dunia. Keputusan ini diambil dua tahun setelah perusahaan mendapat tekanan dari kelompok pegiat lingkungan saat mereka akan menambang di situs yang dilindungi di Bangladesh. Selain itu, perusahaan obat-obatan transnasional juga telah dibuat malu oleh LSM yang menganggap sepi dakwaan masyarakat di Afrika Selatan pada 2002 atas pelanggaran mereka mematenkan obat AIDS. Perusahaan multinasional terkenal, Nike, juga telah dibikin jengah oleh LSM karena LSM mampu membongkar eksploitasi Nike atas buruh yang diupah sangat rendah dan terbukti melakukan prkatik sweatshop atau lembur paksa, di Vietnam dan Indonesia (Anya Schiffrin dan Amer Bisat, 2004: 191-99).

Tak heran jika banyak LSM menganggap dirinya sebagai “suara hati dunia”, mewakili kepentingan publik lebih luas yang melampaui individu. Mereka mengembangkan norma-norma baru dengan menekan negara dan pengusaha secara langsung untuk mengubah kebijakan-kebijakan mereka, dan secara tidak langsung mengubah persepsi publik mengenai apa yang harus dilakukan pemerintah dan sektor bisnis. Sekali lagi, LSM tidak memiliki kuasa keras yang memaksa, namun mereka sering menggunakan kuasa lunak melalui daya tarik yang mereka punya.

LSM di Indonesia
Lahirnya LSM di Indonesia merupakan ekses dari pembangunan dan perkembangan di tingkat global, dimana LSM di banyak negara juga kian berperan dalam kehidupan masyarakat. LSM di Indonesia, oleh karena tekanan internasional serta dana internasional, semakin terlibat dalam masalah sosial dan politik Indonesia. Pada dasawarsa 1980-90an, tekanan dan dana internasional itu berdampak memberikan ruang gerak yang lebih besar bagi LSM-LSM ini, dibandingkan misalnya ruang gerak bagi organisasi non-pemerintah lainnya seperti organisasi massa (seperti serikat buruh). Sehingga, terkadang LSM menggantikan peran kerja organisasi massa dan karenanya tak jarang terjadi konflik horisontal antarmereka.

Terutama, misalnya, upaya penguatan dan pemberdayaan (istilah kerennya: empowerment) yang dilakukan LSM tanpa disadari merupakan sebentuk manipulasi. Maksudnya, aktivis LSM berlomba-lomba memberikan penyadaran pada masyarakat bahwa masyarakat harus mandiri dan berdaya, dan jangan mengandalkan budi baik negara. Di sini tampak kesan bahwa kewajiban-kewajiban negara atas hak-hak warganya karenanya mesti dilupakan, dan tentu dengan ini negara diuntungkan oleh upaya LSM ini.

Banyak fungsi negara yang diambil-alih LSM sehingga terjadi disorientasi dalam masyarakat. Misalnya dalam kegiatan karitatif suatu LSM asing (Amerika) pada pascakrisis lalu, dengan membagikan beras yang harus diimpor dari Amerika kepada masyarakat Indonesia, kegiatan ini berdampak amat buruk memukul para petani padi kita yang harga berasnya anjlok akibat beras impor itu.

Tentu LSM-LSM yang beroperasi di Indonesia terus menyisipkan agenda dan kepentingannya. LSM-LSM ini terkadang malah menjinakkan kelompok-kelompok masyarakat yang tergabung dalam organisasi rakyat akar rumput yang militan yang telah lama ada. Mereka juga bisa mengadu domba dengan menciptakan konflik internal, baik secara langsung ataupun tidak, disengaja maupun tidak. Singkatnya, banyak LSM yang malah berperan memperlemah gerakan rakyat dan melakukan kegiatan kontrapooduktif

Dengan kuasa lunaknya, sebagai bagian dari masyarkat sipil LSM mampu menyebar-luaskan wacana, pengetahuan, kesadaran, yang kerap menghegemoni. “Dominasi borjuasi,” demikian Gramsci (1987), “dapat lebih bersifat intelektual dan ideologis. Kelas-kelas tertindas pada umumnya dibuat sepakat akan tata sosial melalui pendidikan dan perangkat hegemoni lainnya.” Dan LSM adalah bagian dari perangkat hegemoni ini.

LSM Asing versus Lokal: Dilema Aktivis LSM
Pola relasi LSM lokal dan LSM internasional di Indonesia tentu memiliki dampak yang signifikan. Sudah lama ada gesekan diantara fungsi LSM sebagai salah satu motor ‘masyarakat sipil’ Indonesia dan fungsinya sebagai penyalur dana dan penyusun agenda. Seperti dikemukakan Hetifah Sjaifudin dalam Inside Indonesia (2005), aktivis LSM pasti akan menghadapi dilema, karena kepentingan donor dan dampaknya pada tujuan program suatu LSM sulit dihindari; karena kesempatan pribadi kadang-kadang sulit dipisahkan dari pekerjaan sehari-hari sebuah LSM; dan karena ikatan LSM Indonesia (lokal) dengan LSM asing dan para penyandang dana luar negeri lainnya menimbulkan kesenjangan ekonomi/status di dalam kalangan ‘masyarakat sipil’ sendiri diantara kelompok yang mempunyai backing luar dan yang tidak.

Di sini tampak bahwa terdapat krisis dalam citra LSM Indonesia setelah Reformasi. Dengan adanya banyak uang dari luar yang dapat ‘diperjuangkan’, jumlah LSM meningkat dengan cepat, dan tidak semuanya bisa (ataupun mau) memakai kesempatan yang ada dengan baik, untuk kepentingan stakeholder mereka, yakni masyarakat yang lebih luas. Namun, kita pun harus hati-hati dalam mencitrakan LSM sebagai ‘penyeleweng’ dalam kondisi seperti ini. Mungkin memang ada yang menyalahgunakan kesempatan, tetapi ada pula yang niatnya baik, tetapi persiapannya kurang. Hal ini terlihat sekali sekarang di Aceh, yang sedang dibanjiri oleh dana luar. Prasarana untuk menangani ‘tsunami kedua’ ini sama sekali belum mantap, maka LSM-LSM lokal maupun LSM internasional sulit mencapai tujuan (Ford, 2005).

Lemahnya Akuntabilitas LSM
Saat ini telah terjadi pergeseran peran dan perubahan citra LSM. Peran LSM di bidang perburuhan, misalnya, cukup berubah karena adanya kebebasan berserikat bagi buruh. Kerja-kerja LSM untuk kepentingan buruh dengan melakukan advokasi, mengadakan penelitian, menyediakan bantuan hukum dan mengadakan kegiatan pendidikan, saat ini dapat dilakukan oleh Serikat Buruh secara mandiri.

Sekarang ini pun tersiar citra negatif mengenai lemahnya akuntabilitas LSM. LSM memang tidak cukup jelas kemana sebetulnya mereka bertanggung jawab. Akuntabilitas mereka berpindah-pindah. Tugas para aktivis LSM ini sering kali dipengaruhi oleh kepentingan lembaga donor, bukan oleh masyarakat yang mereka bantu dan untuk kepentingan masyarakat luas yang menjadi stakeholder mereka.

Adanya upaya yang dilakukan One World Trust di negara maju baru-baru ini untuk membuat Piagam Akuntabilitas (Accountability Charter) bagi LSM merupakan langkah bagus untuk mengubah citra negatif dan ketakjelasan akuntabilitas LSM selama ini. Upaya tersebut semoga berimplikasi hingga ke kita, atau semoga segera juga terjadi di kita. Karena, bagaimanapun, keberadaan LSM di negeri ini, bersama-sama dengan gerakan rakyat, sekurang-kurangnya dapat menjadi pengingat dan pengontrol negara dan korporasi yang sering kali bersikap sewenang-wenang.***

[+/-] Read More...

Monday, November 17, 2008

Call for Proposals: Gender and Innovation

UNDERSTANDING THEIR MUTUAL INFLUENCE AND IMPACTS

The changing agency of women is one of the major mediators of economic and social change, and its determination as well as consequences closely relate to many of the central features of the development process -- Amartya Sen

The Innovation, Technology and Society (ITS) program of IDRC supports research towards strengthening innovation capabilities and innovation systems in developing countries. The actors in an innovation system, the science and technology policy environment and the interface of innovation systems with society are the three thematic focus areas of ITS. For more information consult www.idrc.ca/its. Gender is an important dimension in all of the thematic areas but there are visible knowledge gaps pertaining to the influence and impacts of gender in innovation systems and processes. We do know that women are present in knowledge and skills- based enterprises but we know very little about how they influence innovation processes leading to tangible socio-economic outcomes. Similarly, the impacts of current innovation systems on the lives of women are not well understood. If knowledge is to be used as a strategic resource for economic growth and productivity as recognized by the development community, women must be provided with an enabling environment to be equal partners in the national innovation systems.


There is a rich source of literature on the fragile representation of women in science and technology based institutions and enterprises and is being addressed at various levels. Adequate representation of women in S&T systems is a necessary but not a sufficient condition for favourable socioeconomic outcomes. Moreover, the S&T system is a component of the national system of innovation. Given that innovation is a complex process, sometimes an S&T system is not even necessary for innovation. There is evidence of innovation without S&T and a lot of evidence of S&T without leading to innovation. An innovation system encompasses the knowledge intensive interactions among the innovation system actors to turn an idea into a process, product or service on the market. It is from this broad perspective of innovation and innovation systems that the gender dimension needs to be analysed. Furthermore, from an inclusion and efficiency perspective, there is a need to tap into under utilised skills and the social value of a participatory innovation process.

This call aims to examine gender from a wider perspective of innovation systems in developing countries. It will support research towards understanding impediments to innovation processes being influenced by women, opportunities to promote greater involvement and influence by women and the differential impacts (real and perceived) of existing innovation systems on women. Proposals are invited in the form of concept notes following the template available at www.idrc.ca/gender_and_innov ation outlining the research under any of the following two headings:
  1. INVOLVEMENT AND INFLUENCE OF WOMEN IN INNOVATION PROCESSES The access, participation and contribution by women to the innovation processes in general is of interest here, including their role in the transformation of knowledge or use of new knowledge for generating goods and services. For example, ways in which women contribute to social and economic value, policy analysis of gendered access and participation and organisational paradigms within innovation system actors, gender influence on business enterprises are an indication of ideas under this heading. Proposals may focus on the inclusivity of women in decision making processes and governance of technologies, particularly in regard to technologies impacting women. Proposals could also address these or other questions:
    • In what ways will greater engagement of women in a specific context of innovation contribute to economic / social value?
    • Will higher enrolment of women in technical education and employment fill the gender gap in innovation?
    • What are the key / distinct features of technology-business entrepreneurship for and by women
    • How does the agency of women in business enterprises manifest itself in the innovation process?
    • What socio-economic profiles of women enable their influence on technology governance and policy process
    • Does a higher gender balance trigger more innovation and if so what are the impacts of this higher balance on innovation?
  1. IMPACTS OF (SPECIFIC) INNOVATION SYSTEMS ON WOMEN – Social engagement of Science, Technology and Innovation (STI) policy and governance in developing countries tend to be limited and a primary reason for this is lack of adequate evidence and research on potential and real socio economic impacts of STI policy or decisions of innovation system actors. Research under this theme will consider impacts (potential and real) of specific technologies (such as reproductive technologies, domestic fuel or food processing technologies) on women and their socio-cultural transformation caused by these technologies. Research under this theme could address these or other questions:
    • Guiding principles (from a research based study) for an engendered approach to technology regulation and policy
    • In what ways do current technologies for water and sanitation impact women?
    • Are there gender biases in the diffusion and / or impacts of specific technologies, such as biotechnology, nanotechnology and ICTs?
    • What are the opportunities for policy harmonisation to enable women to contribute to innovation processes?
    • Does the knowledge economy and technological development promote greater knowledge and skills development of women?
Terminology
Innovation: Innovation is defined as the use of new ideas, technologies or ways of doing things, in a place (or by people) where they have not been used before.
The concept of the innovation system stresses that the flow of technology and information among people, enterprises and institutions is key to an innovative process. It contains the interaction between the actors who are needed in order to turn an idea into a process, product or service on the market.
Gender for the purpose of this call refers to women in the context of their representation in the research data
Selection process
  • Concept notes will be reviewed by IDRC and applicants of selected concept notes will be invited to submit a full proposal
  • Up to 9 full proposals will be supported up to CAD $ 50,000 each for a maximum project duration of 2 years.
  • Evaluation criteria for concept notes will include relevance to context, quality and feasibility, potential for impact and merit of the research team. Selection will also be based on a regional geographic distribution
Resources
Gender and Science, Technology, and Innovation
Gender in/and Science, Technology and Innovation Policy: An overview of current literature and findings
Gender and Innovation in South Asia
Guidelines for application:
  • This call for proposals is limited to developing country institutions.
  • The lead researcher and key members of the research team should be citizens or residents of a developing country.
  • Applicants are strongly encouraged to read the background papers available at www.idrc.ca/gender_and_innov ation
  • This call is limited to applied research projects only with a strong evidence of relevance to local, national or regional context
  • The format for submitting concept notes is available at www.idrc.ca/gender_and_innov ation
  • Deadline for submission of concept notes is 19 December 2008
  • Applications may be emailed to gender_and_innovation@idrc.ca
  • Incomplete applications, or fully theoretical research applications will not be considered
Contact:
Enquiries and clarifications may be addressed to gender_and_innovation@idrc.ca.
Timetable
Launch of call inviting concept notes ; &nb sp; 15 September 2008
Deadline for receipt of concept notes ; &nb sp; 19 December 2008

Document(s)

Ann Elizabeth Samson 16 septembre 2008

Gender and Science, Technology, and Innovation

Open file

Claire Buré 16 septembre 2008
Gender in/and Science, Technology and Innovation Policy: An overview of current literature and findings
Open file

Sujatha Byravan 16 septembre 2008
Gender and Innovation in South Asia
Open file


[+/-] Read More...

Sunday, November 16, 2008

Dukungan LSM Malaysia Untuk Tenaga Kerja Indonesia

Berita dari portal Republika ini memberitakan tentang LSM malaysia yang mendukung agar Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di sana memegang pasport mereka sendiri. Ternyata kalangan masyarakat sipil di Malaysia masih peduli dengan TKI. Lantas bagaimana LSM dan pemerintah Indonesia dalam merespon dukungan ini?
------------------------

Didukung Keinginan Indonesia Agar TKI Pegang Paspor

By Republika Contributor
Minggu, 16 November 2008 pukul 12:57:00

KUALA LUMPUR -- Keinginan pemerintah Indonesia agar paspor dipegang oleh TKI (tenaga kerja Indonesia) yang bekerja di Malaysia banyak didukung oleh pekerja, LSM dan Ormas.

Direktur Migrant Care Malaysia, Alex Ong Kian, Ketua Pasomaja (paguyuban solidaritas masyarakat Jawa) Machrodji Maghfur, dan Ketua Bocahe Dewe, Ambar secara terpisah mengatakan kepada Antara di Kuala Lumpur, Minggu, mereka mendukung upaya pemerintah Indonesia agar paspor di pegang oleh TKI."Paspor dipegang oleh majikan itu sebenarnya merupakan penghinaan dan takluknya kedaulatan pemerintah Indonesia terhadap majikan Malaysia, karena paspor adalah dokumen negara yang harusnya dipegang oleh warganya sendiri," katanya.

Alex meminta pemerintah Indonesia serius untuk memperjuangkan hal ini karena paspor boleh dipegang majikan Malaysia adalah kebijakan pemerintah Indonesia yang menggadaikan kedaulatannya sendiri yang tertuang dalam MOU Indonesia-Malaysia tahun 2006."Jika majikan Malaysia memberikan iklim kerja yang nyaman untuk membantu mengapa harus takut pekerjanya kabur. Kalau seluruh majikan Malaysia tidak mau menerima atau menggaji pekerja ilegal maka tidak akan ada pekerja yang lari karena tidak ada yang mau menampungnya," tambah warga Malaysia yang menjadi aktivis untuk pekerja migran.

Lagi pula, lanjut dia, tidak ada istilah pekerja ilegal dalam istilah ILO. Yang adalah adalah majikan ilegal karena ada majikan maka ada pekerja. Oleh sebab itu, dalam menangani pekerja ilegal di Malaysia harus sudah diubah. Fokus penegakan hukum lebih kepada majikan yang senang menggunakan pekerja ilegal seperti yang dilakukan negara-negara maju, bukan kepada pekerja asing ilegak."Paspor dipegang majikan lebih menguntungkan agensi-agensi pemasok pekerja asing di Malaysia yang kerjanya hanya menjual biodata pekerja asing atau sebagai broker, padahal kondisi dan kontrak kerja yang dibuat sangat merugikan pekerja asing," tambah dia.

Sementara itu, Ketua Pasomaja Machrodji Magfur mengatakan paspor TKI dipegang majikan Malaysia itu punya dampak baik (positif) dan buruknya. "Baiknya itu, resiko hilang, resiko rusak karena kena air, tercuci atau rusak karena dibawa para TKI yang bekerja di kontruksi relatif kecil."

Sedangkan buruknya, jika TKI ingin pergi atau jalan-jalan hanya membawa foto kopi paspor kemudian kena razia imigrasi atau polisi Malaysia akan langsung ditangkap dan dijebloskan penjara dulu, baru dikontak majikannya. Ada majikan yang peduli dan ada yang tidak peduli."Saya mendukung sekali paspor dipegang TKI dan meminta pemerintah Malaysia agar serius mengurus kartu pekerja asing sebagai pengganti paspor. Jangan hanya lip service saja," kata Magfur, ketua PKB dan sudah memiliki permanent residence (PR) di Malaysia karena sudah tinggal sekitar 25 tahun.

Ia juga menuntut agar pemerintah Malaysia mengubah fokus kebijakan penegakan hukum agar lebih menitikberatkan kepada majikan dibandingkan pekerja. "UU Imigrasi Malaysia kan UU warga Malaysia. Jadi warga Malaysia sendiri harus patuh pada aturannya. Jangan ada yang mau mempekerjakan pekerja ilegal. Kenyataannya mereka sendiri yang suka menggaji pekerja ilegal,"tambah dia.

Senada dengan itu, Ketua Bocahe Dewe, Ambar mendukung langkah pemerintah Indonesia tapi ia juga berharap agar pengadilan perburuhan Malaysia juga berfungsi dan berjalan dengan cepat atas kasus-kasus perburuhan untuk mengatasi masalah pekerja asing di Malaysia."Banyak kasus perselisihan pekerja asing yang tidak bisa ditangani pengadilan perburuhan Malaysia karena prosesnya lama sehingga banyak pekerja yang tidak tahan dan kembali ke tanah air. Akibatnya, pengadilan perburuhan tidak bisa menjadi alternatif penyelesaian perburuhan bagi pekerja asing," kata Ambar, ketua Bocahe Dewe dengan jumlah anggota sekitar 25.000 pekerja.


Kedatangan Menaker
Ketika bertemu dengan Menteri Sumberdaya Manusia Malaysia Subramaniam di Putrajaya, Menteri tenaga kerja dan transmigrasi Erman Suparno mengatakan telah minta kepada agar paspor TKI yang bekerja di Malaysia tetap dipegang oleh pekerja."Saya katakan dunia internasional mengkritik keras kebijakan Indonesia-Malaysia yang membolehkan majikan Malaysia memegang paspor TKI. Oleh sebab itu, kami minta paspor tetap dipegang pekerja," kata Erman ketika mengunjungi Asean Skill Competition di Kuala Lumpur, Sabtu.

Tapi jika majikan Malaysia ingin tetap memegang paspor TKI harus ada kesepakatan dua pihak, majikan dan pekerja yang diikat dalam suatu kontrak. Majikan juga wajib menjaga dan mengurus perpanjangan ijin kerja TKI setiap tahun. "Kami juga meminta agar ribuan pekerja ilegal yang tidak ada dokumen atau ilegal diputihkan atau dilegalisasi karena ada pekerja ilegal karena ada majikan yang suka menggunakan pekerja ilegal," katanya.

Menteri Erman Suparno juga menanyakan bagaimana menangani majikan Malaysia yang nakal misalkan karena tidak bayar gaji atau memotong gaji TKI. "Kejadian kan di wilayah Malaysia, lalu bagaimana mengatasi majikan yang nakal." tambah dia.

Ia juga minta kepada pemerintah Malaysia agar tidak membedakan gaji pekerja asing berdasarkan negara. Pertemuan para menteri tenaga kerja di Doha sepakat bahwa gaji tidak boleh dibedakan berdasarkan negara karena diskriminasi, yang boleh perbedaan gaji berdasarkan sektor pekerjaan."Nanti Indonesia-Malaysia akan membentuk joint committee dalam waktu dekat ini. Begitu pulang, saya juga akan segera membentuk tim yang terdiri dari berbagai instansi dan datang ke Kuala Lumpur untuk rapat," katanya.ant/kp

[+/-] Read More...

LSM / NGO INDONESIA UNTUK PENGUATAN MASYARAKAT SIPIL INDONESIA © 2008 Template by Dicas Blogger | Development Job | Nanang | Wayoi | Island Vacation | Hotel | Indo Lawyer.

TOP