Sunday, November 23, 2008

Tuntutan Akuntabilitas LSM, Isu yang Berulang

Sumber: KOMPAS, Edisi 24 April 2007
Penulis: M Hernowo

Pada 14 April lalu, lembaga swadaya masyarakat Abdi Lestari Nusa menggelar seminar nasional di Jakarta. Acara itu mengambil tema “Perlunya Mengaudit Sumber Dana Asing dan Agenda Kegiatan terhadap LSM yang Merugikan Rakyat, Bangsa, dan Negara RI”.

Praktisi hukum Elza Syarief, salah satu pembicara dalam acara ini menuturkan, audit terhadap LSM diperlukan sebagai salah satu cara untuk mengontrol dan meningkatkan akuntabilitas lembaga itu. Sebab menurut dia, ada LSM yang kerjanya hanya mengumpulkan kliping koran untuk kemudian dilaporkan sebagai hasil kerja ke lembaga donor. Audit terhadap LSM juga dibutuhkan karena ada dugaan lembaga donor memiliki kepentingan atas dana yang mereka berikan.

Praktisi hukum Chandra Motik Yusuf, pembicara lain, bahkan mengusulkan adanya kewenangan bagi pemerintah untuk memeriksa dan mengatur penyandang dana LSM. Sebab ada LSM yang diduga telah merugikan citra Indonesia.

Di tengah maraknya kemunculan berbagai LSM pada era reformasi, pembicaraan tentang akuntabilitas lembaga itu sebenarnya bukan hal baru. Apalagi ketika disinyalir ada LSM yang dibentuk hanya untuk mencari keuntungan bagi pengurusnya atau mengamankan posisi sejumlah pejabat pemerintah. LSM yang terakhir ini biasa disebut sebagai “LSM pelat merah”.

Kasus dugaan LSM pelat merah, misalnya, pernah muncul dalam perkara korupsi Bupati Kepulauan Riau Huzrin Hood. Dalam persidangan terungkap, ada 25 LSM yang menerima bantuan senilai Rp 2,1 miliar yang diambil dari APBD Kepri 2001-2002. Namun, Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat Kabupaten Kepri Norbet Johan mengaku, 25 LSM itu tidak terdaftar di pemerintahan kabupaten setempat (Kompas, 12 Juli 2003).

Untuk menciptakan akuntabilitas LSM ini, Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) pada tahun 2002 berinisiatif menyusun kode etik dan membuat asosiasi khusus bagi LSM yang bergerak di bidang pengembangan sosial dan ekonomi.

Kode etik yang ditandatangani 252 LSM itu, antara lain menyatakan, LSM tidak didirikan untuk mencari keuntungan, namun mengabdi kepada umat manusia dan kemanusiaan. Semua informasi yang berkaitan dengan misi, keanggotaan, kegiatan, dan pendanaan LSM, pada dasarnya bersifat publik hingga terbuka bagi masyarakat. LSM juga akan memakai standar pembukuan dan pelaporan keuangan sesuai dengan standar akuntansi yang berlaku umum.

Romanus Ndau Lendong, Program Manajer Yayasan Visi Anak Bangsa mensinyalir, munculnya isu akuntabilitas LSM belakangan ini bukan terutama karena banyaknya LSM pelat merah, melainkan lebih karena kegelisahan sejumlah pihak terhadap LSM yang selama ini cukup kritis kepada pemerintah. Apalagi dalam isu itu sempat muncul ungkapan adanya LSM yang telah mencemarkan Indonesia di mata internasional. “Jika benar, isu itu terutama akan dipakai untuk membatasi gerak LSM yang selama ini aktif di bidang pembelaan hak asasi manusia,” kata dia.

Sosiolog Kastorius Sinaga yang menulis disertasi NGO’s in Indonesia A Study of The Role of Non Governmental Organizations in the Development Process (1995) menyetujui adanya ketegangan yang mewarnai dinamika LSM.

Pada era Orde Baru terjadi ketegangan antara negara dan LSM karena pada waktu itu LSM berada pada posisi untuk beroposisi dengan negara. Itu bisa dilihat dari serangkaian ketegangan dan latar politik yang melingkupinya.

Sedangkan pada era reformasi, menurut Kastorius, ketegangan sedikit bergeser, yakni ketegangan di dalam LSM itu sendiri serta ketegangan di antara sesama LSM. “Klaim kepentingan publik dari LSM selalu dipertanyakan, kepentingan publik yang mana,” ujar Kastorius.

Ia mengamati banyaknya persepsi masyarakat tentang LSM seiring makin terbukanya ruang politik. Ada LSM yang memberi kesan sebagai instrumen politik satu pihak untuk menghantam pihak lain, ada LSM yang ditempatkan sebagai organisasi sayap partai politik, tapi ada juga LSM yang khusus bergerak sebagai pelindung pejabat. “Kita bisa lihat bagaimana preman, pengusaha, politikus ikut mengendalikan LSM,” ujarnya.

Beragamnya konstruksi tentang LSM, menurut Kastorius, tak bisa dilepaskan dengan tiadanya definisi tentang LSM di Indonesia. “Apa sih LSM itu. Apakah semuanya yang dibentuk bukan oleh pemerintah dan tidak dibiayai pemerintah itu LSM. Sekarang ini LSM seperti keranjang sampah,” ucapnya.

Bagi dia, mendefinisikan apa itu LSM haruslah menjadi prioritas. Pendefinisian LSM bukan hanya semata-mata karya akademis, melainkan konsensus politik.

Latar politik

Ketegangan LSM dan negara pada era Orde Baru memang selalu mempunyai latar politik. Kegiatan LSM yang dianggap menjelek-jelekkan pemerintah dalam forum internasional selalu menjadi latar keinginan pemerintah Orde Baru untuk mengendalikan LSM.

Di pengujung Orde Baru, sejumlah LSM, bersama dengan ormas dan mahasiswa, telah disusupi paham komunis. Saat itu pemerintah menunjuk kambing hitam penyerbuan Kantor DPP PDI pro Megawati pada 27 Juli 1996, yaitu Partai Rakyat Demokratik sebagai contoh.

Jika sekarang isu tentang akuntabilitas LSM kembali muncul, lalu kira-kira apa yang menjadi latar belakangnya?

Sejumlah penggiat LSM menduga, kemunculan isu itu terkait dengan maraknya pembicaraan sejumlah kasus pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia. Misalnya Kerusuhan Mei 1997, Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II.

Bahkan, sebagian kasus itu sudah dibawa ke dunia internasional, misalnya kasus pembunuhan aktivis hak asasi manusia Munir yang terjadi 7 September 2004 dan penghilangan paksa aktivis pro demokrasi pada tahun 1997-1998.

Bahkan dalam Sidang Dewan HAM PBB 12-30 Maret lalu, pembunuhan Munir ini dibicarakan sejumlah pihak. Mereka adalah kelompok kerja penghilangan paksa, pelapor khusus PBB untuk pembunuhan di luar hukum, dan utusan khusus Sekjen PBB tentang perlindungan pembela HAM.

Sementara dalam laporan resminya tentang kasus Munir ke Dewan HAM PBB, Pelapor Khusus PBB Philips Alston menilai Pemerintah Indonesia menunjukkan sikap yang kooperatif namun tidak lengkap.

Internasionalisasi kasus-kasus itu tidak ubahnya seperti kerikil dalam sepatu bagi diplomasi Indonesia di dunia internasional. Apalagi jika benar negara ini berniat kembali mengikuti pemilihan anggota Dewan HAM PBB, yang akan dilakukan akhir bulan Mei mendatang.

“Jika dugaan ini benar, amat disayangkan. Sebab, internasionalisasi terpaksa dilakukan karena penyelesaian kasus-kasus itu di dalam negeri tidak lancar,” kata Koordinator Human Right Working Group Rafendi Djamin.

Usman Hamid dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan menambahkan, jika isu akuntabilitas LSM masih dipakai untuk menghadapi gerakan kritis masyarakat sipil, berarti pemerintah belum siap untuk melihat perubahan.

“Ketidaksiapan pemerintah itu sebenarnya sudah terlihat lewat sejumlah peraturan yang mereka usulkan. Misalnya Rancangan Undang-Undang (RUU) Rahasia Negara, RUU Keamanan Nasional, dan RUU Intelijen,” papar Hamid.

Jika ini benar terjadi, berarti reformasi memang baru menghasilkan dua hal, yaitu mengganti Presiden Soeharto dan mengubah UUD 1945. Sementara lainnya, masih sama seperti dahulu. (bdm)

This post has 0 comment

LSM / NGO INDONESIA UNTUK PENGUATAN MASYARAKAT SIPIL INDONESIA © 2008 Template by Dicas Blogger | Development Job | Nanang | Wayoi | Island Vacation | Hotel | Indo Lawyer.

TOP